Tuesday, November 25, 2008

MELIHAT ALLAH SUBHANAHU WATTA ALAA

Kata melihat disebut dengan berbagai versi dalam bahasa Arab, dan Al-Qur'an. Melihat berarti dengan mata kita. Sedangkan mata kita ada tiga. Mata kepala, mata analisa fikiran, mata hati.

Dalam konteks hubungan dengan "Melihat Allah" dan "Seakan-akan melihat Allah", maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin melihat Allah. "Musa as berkata: Ya Tuhan, tampakkan diriMu padaKu, aku ingin memandangMu." Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu." (al-A'raf 143).

Ayat lain menyebutkan: "Sesungguhnya Akulah Tuhanmu, maka lepaskanlah sandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci." (Thaha 12)

Dan dia berkata, "Sesungguhnya aku akan menyaksikan Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya Aku bebas dari kemusyrikan kamu padaKu, melalui selain Dia."

Ayat lain menyebutkan, "Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah."(Al-Baqarah 115)

"Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan." (Al-An'aam 79)

Nabi Musa as, gagal ketika hasratnya menggebu ingin melihat Allah, lalu Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu.". Dengan kata lain "Kamumu" atau "Akumu" tidak bisa melihatKu. Karena itu Abu Bakr ash-Shiddiq ra berkata, "Aku melihat Tuhanku dengan Mata Tuhanku." yang berarti bahwa hanya dengan Mata Ilahi saja kita bisa MelihatNya.

Dimaksud dengan "Mata Ilahi" adalah Mata Hati kita yang diberi hidayah dan 'inayah oleh Allah SWT untuk terbuka, dan senantiasa di sana hanya Wajah Allah yang tampak, sebagaimana dalam Al-Qur'an. Ibnu Athaillah menggambarkan secara bijak:

"Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yang melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma'rifat oleh mendung-mendung duniawi semesta."

Karena itu soal "Menyaksikan Allah" hubungannya erat dengan tersingkapnya tirai hijab, yang menghalangi diri hamba dengan Allah, walaupun Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yang bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah.

Oleh sebab itu, dalam menggambarkan Musyahadah (penyaksian Ilahi) ini, Rasulullah menggunakan kata, "Seakan-akan", karena mata kepala kita dan mata nafsu kita, keakuan kita pasti tak mampu. Kata-kata "Seakan-akan" lebih dekat sebagai
bentuk kata untuk sebuah kesadaran jiwa dan kedekatan hati.Tetapi ketika Rasulullah bersabda, "Jika kamu tidak melihatNya, kamu harus yakin bahwa Dia melihatmu.". Rasul SAW tidak menyabdakan, "Seakan-akan melihatmu.".

Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai-sampai seakan-akan melihatNya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa "Dialah yang melihat kita." Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT melihat kita terus menerus, menimbulkan
pantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan sirr kita untuk memandangNya.

Kesadaran Memandang Allah, kemudian mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yang berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat haliyah ruhaniyah (kondisi ruhani) masing-masing. Ada yang menyadari dalam pandangan
tingkat Asma Allah, ada pula sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat-sifatNya, kemudian Asma'-asmaNya, lalu melihat semesta makhlukNya.

Lalu kita perlu mengoreksi diri sendiri lewat perkataan Abu Yazid al-Bisthamy, "Apa pun yang engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bertempat, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah SWT. Karena
sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk."

Kontemplasi demi kontemplasi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid yang Kamil Mukammil hanya akan menggapai kebuntuan jalan dalam praktek Muroqobah, Musyahadah maupun Ma'rifah.

Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka digambarkan oleh Ibnu Athaillah dalam al-Hikam:

"Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat
ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta'ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.

Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemeseraan denganNya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala'ah."

Ibnu Athaillah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yang harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yang lain. Bukan dengan fikiran:

Mufatahah: artinya, permulaan hamba menghadapNya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma, Sifat dan keagungan DzatNya, agar hamba luruh di sana dan lupa dari segala yang ada bersamaNya.

Muwajahah, artinya saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit dan sejenak pun berpaling dariNya, tanpa alpa dari mengingatNya. Allah menemui dengan CahayaNya dan hamba menghadapnya dengan Sirrnya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk
melihat selainNya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.

Mujalasah, artinya menetap dalam majlisNya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakanNya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah
swt berfirman dalam hadits Qudsi, "Akulah berada dalam majlis yang berdzikir padaKu."

Muhadatsah, maknanya dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia batin) dengan mengingatNya dan menghadapNya dengan hal-hal yang ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahayaNya meluas dan rahasia-rahasiaNya bertumpuan. Inilah yang
disabdakan Nabi saw, "Pada ummat-ummat terdahulu ada kalangan disebut sebagai kalangan yang berdialog dengan Allah, dan pada ummatku pun ada, maka Umar diantaranya."

Musyahadah, adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, "Syuhud itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud."

Muthala'ah, adalah keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, ketaatan dan batin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yang tampak senantiasa muncul rahasiaNya karena keparipurnaanNya. Wallahu A'lam.

Maka Hadrat Ilahi, telah menjadi kehidupan hatinya, dimana mereka tenteram dan tinggal. Renungkan semua ini dengan hati yang suci.

sumber : http://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=202

READ MORE - MELIHAT ALLAH SUBHANAHU WATTA ALAA

Hakekat Adab


Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
Allah swt. berfirman:"Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (Q.s. An-Najm: 17).

Dikatakan bahwa ayat ini berarti, "Nabi melaksanakan adab di hadiratAllah." Allah swt. berfirman: "’Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. " (Q.s. At-Tahrim: 6).

Mengomentari ayat ini, Ibnu Abbas mengatakan, "Didiklah dan ajarilah mereka adab."

Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. telah bersabda, "Hak seorang anak atas bapaknya adalah si bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adab dan akhlak
Sa’id bin al-Musayy-ab berkata, "Barangsiapa yang tidak mengetahul hak-hak Allah swt. atas dirinya dan tidak pula mengetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab."

Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mendidikku dalam adab dan mendidikku dengan sangat baik. "’ (H.r. Baihaqi)

Esensi adab adalah gabungan dari semua akhlak yang baik. jadi’ orang yang beradab adalah orang yang pada dirinya tergabung perilaku kebaikan, dari sini muncul istilah ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Seorang hamba akan mencapai surga dengan mematuhi Allah swt. Dan akan mencapai Allah swt. dengan adab menaati-Nya." Beliau juga mengatakan,"Aku. melihat seseorang yang mau menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam shalat, namun tangannya terhenti." Jelas bahwa yang beliau maksudkan adalah diri beliau sendiri.

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada apa pun jika sedang duduk. Pada suatu hari beliau sedang berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin menempatkan sebuah bantal di belakang beliau, sebab saya melihat beliau tidak punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di belakangnya, beliau lalu bergerak sedikit untuk menjauhi bantal itu. Saya mengira beliau tidak menyukai bantal itu karena tidak dibungkus sarung bantal.

Tetapi beliau lalu menjelaskan, "Aku tidak menginginkan sandaran." Setelah itu saya merenung, ternyata beliau memang tidak pernah mau bersandar pada apa pun.

Al-Jalajily al-Bashry berkomentar, "Tauhid menuntut keimanan, jadi orang yang tak punya iman tidak bertauhid.

Iman menuntut syariat, jadi orang yang tidak mematuhi syariat berarti tak punya iman, dan tauhid. Mematuhi syariat menuntut adab, jadi orang yang tak mempunyal adab tidak mematuhi syariat, tidak memiliki iman dan tauhid."

Ibnu Atha’ berkata, ‘Adab berarti terpaku dengan hal-hal yang terpuji." Seseorang bertanya, "Apa artinya itu?"
Dia menjawab, "Maksudku engkau harus mempraktikkan adab kepada Allah swt baik secara lahir dan batin. Jika engkau berperilaku demikian, engkau memiliki adab, sekalipun bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab." Kemudian dia membacakan Syair : Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnya. Jika diam, duhai cantiknya.

Abdullah al-Jurairy menuturkan, "Selama duapuluh tahun dalam khalwatku, belum pernah aku melonjorkan kaki satu kali pun ketika duduk Melaksanakan adab pada Allah swt. adalah lebih utama."

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Orang yang bersekutu dengan raja-raja tanpa adab, ketololannya akan menjerumuskan pada kematian."

Diriwayatkan ketika Ibnu Sirin ditanya, "Adab mana yang lebih mendekatkan kepada Allah swt.?" Dia menjawab, "Ma’rifat mengenal Ketuhanan-Nya, beramal karena patuh kepada-Nya, dan bersyukur kepada-Nya atas kesejahteraan dari-Nya., serta. bersabar dalam menjalani penderitaan."

Yahya bin Mu’adz berkata, "Jika, seorang ‘arif meninggalkan adab di hadapan Yang Dima’rifati, niscaya dia akan binasa bersama mereka yang binasa."

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Meninggalkan adab mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku buruk di pelataran akan dikirim kembali ke pintu gerbang. Orang yang berperilaku buruk di pintu gerbang akan dikirim untuk menjaga binatang."

Ditanyakan kepada Hasan al-Bashry, "Begitu banyak yang telah dikatakan tentang berbagai ilmu sehubungan dengan adab. Yang mana diantaranya yang paling bermanfaat di dunia dan paling efektif untuk akhirat?" Dia menjawab, "Memahami agama, zuhud di dunia, dan mengetahui apa kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt."

Yahya bin Mu’adz berkata, "Orang yang mengetahui dengan baik adab terhadap Allah swt. akan menjadi salah seorang yang dicintal Allah swt."

Sahl bin Abdullah mengatakan, "Para Sufi adalah mereka yang meminta pertolongan Allah swt. dalam melaksanakan perintah perintah-Nya dan yang senantiasa memelihara, adab terhadap-Nya."

Ibnul Mubarak berkata, "Kita lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak pengetahuan. " Dia juga mengatakan, "Kita mencari ilmu tentang adab setelah orang-orang yang beradab meninggalkan kita."

Dikatakan, "Tiga perkara yang tidak akan membuat orang merasa asing:
1. menghindari orang yang berakhlak buruk.
2. memperlihatkan adab dan
3. mencegah tindakan yang menyakitkan."

Syeikh Abu Abdullah al-Maghriby membacakan syair berikut ini tentang adab:Orang asing tak terasing bila dihiasi tiga pekerti ;menjalankan adab, diantaranya, dan kedua berbudi baik dan ketiga menjauhi orang-orang yang berakhlak buruk.

Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junayd berkata kepadanya, "Engkau telah mengajar murid-murldmu untuk berperilaku seperti raja-raja!" Abu Hafs merjawab, "Memperlihatkan adab yang baik dalam lahiriahnya, merupakan ragam dari adab yang baik dalam batinnya."
Abdullah ibnul Mubarak berkata, "Melaksanakan adab bagi seorang ‘arif adalah seperti halnya tobatnya pemula."

Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan, "Seseorang mengatakan kepada seorang Sufi, Alangkah jeleknya adabmu!’ Sang Sufi menjawab, Aku tidak mempunyai adab buruk.’ Orang itu bertanya, ‘Siapa yang mengajarmu adab?’ Si Sufi menjawab, ‘Para Sufi.’

Abu an-Nashr as-Sarraj mengatakan, "Manusia terbagi tiga kategori dalam hal adab:
1) Manusia duniawi, yang cenderung memprioritaskan adabnya dalam hal kefasihan bahasa Arab dan sastra, menghapalkan ilmu-ilmu pengetahuan, nama-nama kerajaan, serta syair-syair Arab; 2) Manusia religius yang memprioritaskan dalam olah jiwa, mendidik fisik, menjaga batas-batas yang ditetapkan Allah, dan meninggalkan hawa nafsu; 3) Kaum terpilih (ahlul khushushiyah) yang berkepedulian pada pembersihan hati, menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada kekinian, menghentikan perhatian kepada bisikan-bisikan sesat, dan menjalankan adab pada saat-saat memohon, dan dalam tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub dengan-Nya."

Diriwayatkan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan, "Orang yang menundukkan jiwanya dengan adab berarti telah menyembah Allah dengan tulus."

Dikatakan, "Kesempurnaan adab tidak bisa dicapai kecuali oleh para Nabi - semoga Allah melimpahkan salam kepada mereka dan penegak kebenaran (shiddiqin)."

Abdullah ibnul Mubarak menegaskan, "Orang berbeda pendapat mengenai apa yang disebut adab. Menurut kami, adab adalah mengenal diri."

Dulaf asy-Syibly berkata, "Ketidakmampuan menahan diri dalam berbicara dengan Allah swt. berarti meninggalkan adab."

Dzun Nuun al-Mishry berkomentar, "Adab seorang ‘arif melampaui adab siapa pun. Sebab Allah Yang dima’rifati, Dialah yang mendidik hatinya. "

Salah seorang Sufi mengatakan, ‘Allah swt. berfirman: Barangsiapa yang Aku niscayakan tegak bersama Asma dan Sifat-Ku, maka Aku niscayakan adab padanya. Dan siapa yang Kubuka padanya, jauh dari hakikat Dzat-Ku, maka Aku niscayakan kebinasaan padanya. Pilihah, mana yang engkau sukai: adab atau kebinasaan’."

Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika sedang berada bersama murid-muridnya, berkata, "Meninggalkan adab di tengah-tengah kaum yang memiliki adab adalah tindakan yang beradab. " Statemen ini didukung oleh hadis yang menceritakan Nabi saw. sedang berada bersama Abu Bakr dan Umar. Tiba-tiba Utsman datang menjenguk beliau. Nabi menutupi paha beliau dan bersabda, "Tidakkah aku malu di hadapan orang yang malaikat pun malu di hadapannya?"

Dengan ucapannya itu Nabi menunjukkan bahwa betapapun beliau menghargai keadaan Utsman, namun keakraban antara beliau dengan Abu Bakr dan Umar lebih beliau hargai. Mendekati makna, konteks ini mereka, para Sufi bersyair berikut:
Padaku penuh santun nan ramah, maka, bila berhadapan dengan mereka yang memiliki kesetiaan dan kehormatan, kubiarkan aku mengalir aku berbicara apa adanya tanpa malu-malu.

Al Junayd menyatakan, "Manakala cinta sang pecinta telah benar, ketentuan-ketentuan mengenai adab telah gugur."

Abu Utsman al-Hiry mengatakan, "Manakala cinta telah menghujam sang pecinta, adab, akan menjadi keniscayaannya."

Ahmad an-Nury menegaskan, "Barangsiapa tidak menjalankan adab di saat kini, maka sang waktunya akan dendam padanya.

Dzun Nuun al-Mishry berkata, "Jika seorang pemula dalam jalan Sufi berpaling dari adab, maka dia akan dikembalikan ke tempat asalnya.

Mengenai ayat:"Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang " (Q.s. Al-Anbiya’: 83).

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan penjelasan, ‘Ayub tidak mengatakan, ‘Kasihanilah aku!’ (irhamny), semata karena beradab dalam berbicara kepada Tuhan."

Begitujuga Isa as. mengatakan:"Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. " (Q.s. Al-Maidah: 118).

"Seandainya aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. " (Q.s. Al-Maidah: 116).

Komentar Syeikh ad-Daqqaq, "Nabi Isa mengucapkan,’Aku tidak menyatakan’ (lam aqul), semata karena menjaga adab di hadapan Tuhannya."

Al-Junayd menuturkan, "Pada hari jum’at di antara orang-orang salihin datang kepadaku, dan meminta, ‘Kirimlah salah seorang fakir kepadaku untuk memberikan kebahagiaan kepadaku dengan makan bersamaku."

Aku pun lalu melihat ke sekitarku, dan kulihat seorang fakir yang kelihatan lapar. Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya, ‘Pergilah bersama syeikh ini dan berilah kebahagiaan kepadanya.’ Tak lama kemudian orang itu kembali kepadaku dan berkata, ‘Wahai Abul Qasim, si fakir itu, hanya makan sesuap saja" dan pergi meninggalkan aku!’
Aku menjawab, ‘Barangkali Anda mengatakan sesuatu yang tak berkenan pada benaknya.’
Dia menjawab,’Aku tidak mengatakan apa-apa.’
Aku pun menoleh, tiba-tiba si fikir duduk di dekat kami dan aku bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak memenuhi kegembiraannya?’
’Dia menjawab, ‘Wahai syeikh, saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa makan sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan Anda karena kemiskinan saya, tetapi ketika Anda memanggil saya, saya gembira karena Anda mengetahui kebutuhan saya sebelum saya mengatakan apa-apa.
Saya pun pergi bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan surga baginya.
Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyuguhkan makanan dan berkata, ‘Makanlah ini, karena aku menyukainya lebih dari uang sepuluh ribu dirham.
’Ketika saya mendengar ucapannya itu, tahulah saya bahwa citarasanya rendah sekali. Karenanya, saya tak suka makan makanannya.’
Aku menjawab, ‘Tidakkah aku telah mengatakan kepadamu bahwa engkau bertindak tak beradab dengan tidak membiarkannya bahagia?’
Dia berkata, ‘Wahai Abul Qasim, saya bertobat!’
Maka aku pun lalu menyuruhnya kembali kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya."

READ MORE - Hakekat Adab