Monday, August 31, 2009

Al Habib Hasan Bin Abdullah Asy-syathiri


Al Habib Hasan Bin Abdullah Asy-syathiri adalah seorang alim dikenal sebagai orang yang hafal sekaligus mengamalkan Al Qur’an. Beliau selalu berendah hati, trutama dihadapan gurunya Al Habib Abdullah Bin Alwi Bin Syahab, suara beliau tidak pernah terdengar, kepalanya tidak pernah di angkat, seakan akan di atas kepalanya ada burung yang sedang bertengger.

Beliau di cintai oleh hamba-hamba kekasih Allah SWT, mencintai Allah dan mengikhlaskan dirinya untuknya, selalu menasehati yang besar dan yang kecil, penuh kasih sayang, serta selalu berbaik sangka kepada setiap muslim.

Pernah suatu ketika beliau menaiki sebuah lift, dan menjumpai di dalamnya sepasang lelaki dan perempuan barat yang sedang berciuman. Beliau tidak menegurnya justru malah mendoakannya. Seraya berkata” yaa Allah, sebagaimana kau telah senangkan hati mereka di dunia ini, senangkanlah hati mereka di akhirat nanti”.

Dapat juga dikatakan bahwa tidak ada ahlak, amal perbuatan dan ke-tawadhuan para as salaf as salih yang pernah kita dengar, melainkan seluruhnya terangkum dan menjelma dalam diri Al Habib Hasan Asy-syathiri.

Untuk mempersingkat uraian manaqib ini, al faqir selanjutnya akan mengutip penuturan para da’I dan ulama besar tentang Al Habib Hasan Bin Abdullah Asy-syathiri, antara lain Habib Salim Bin Abdullah Asy-syathiri, Al Habib Abu Bakar Bin Ali Al Masyhur, Al Habib Umar Bin hafidz, Al Habib Abdullah Bin Ahmad Al Haddad, Al Habib Husein Bin Muhammad Al Haddar, Al Habib Ja’far Bin Muhammad Assaqaf, Gubernur Hadhramaut ustadz Abdul Qadir Ali Hilal, Al Habib An Najib Umar Bin Abdurahman Al Attas, dalam peringatan 40 hari wafatnya almarhum Al Habib Hasan Bin Abdullah Asy-syathiri di kota tarim dan jedah.

Al Habib Salim Bin Abdullah Asy-syathiri berkata, Al marhum adalah As Sayyid Al Faqih, Al Alim Al Allamah Ad Da’I ilallah, figur bagi para pencari kebenaran, pendidik bagi parapelusuk kejalan Allah SWT, Al Habib Hasan Bin Abdullah Bin Umar Bin Ahmad Bin Umar Bin Alwi Asy-syathiri Bin Ali Bin Qadhi Ahmad Bin Muhammad asadullah fi ardhihi Bin Hasan At Turabi Bin Ali Bin Al Faqih Muqaddam Muhammad Bin Muhammad Shahibul Mirbath Bin Khali Qasam Bin Alwi Bin Muhammad Maula Shauma’ah Bin Alwy maula sumul Bin ‘Ubaidillah Bin Al Muhajir Illah Ahmad Bin ‘Isa Bin Muhammad An Naqib Bin Ali Al Uraidhi Bin Ja’far Ash Shadiq Bin Muhammad Al Bagir Bin Ali Zainal Abidin Bin Husein As-sibth Bin Al Imam Amiril Mu’minin Ali Bin Abi Thalib sekaligus putra sayidatina Fatimah Az-zahra Al Batul Binti Sayyidina Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama.

Al Habib Hasan menimba ilmu dari ayahandanya Al Habib Abdullah Bin Umar Asy-syathiri, serta maha guru beliau Al Arif billah Al QuthbAl Muhab Al Habib Alwi Bin Muhammad Bin Syahab. Selain itu Al marhum Al Habib Hasan juga sempat beruru kepada Murid Murid senior ayahanda beliau, antara lain syeikh Mahfuzh Bin Ustman, Syeikh Umar ‘Awadh Haddad dan Syeikh Salin bukair ba ghaitsan.

Di bawah bimbingan ayahanda beliau, Al Habib Hasan juga banyak mempelajari berbagai macam kitab. Ayahanda beliau wafat pada saat beliau tengah menimba ilmu(tafsir) yang ketka itu beliau sampai pada tafsir ayat Al Qur’an yang berbunyi
“pada hari ini ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah ku cukupkan kepadamu nikmatku , dan telah ku ridhai Islam sebagai agamamu” (QS Al Ma’dah: 3

Di setiap penghujung malam, Al Habib Hasan Asy-syathiri sering kali di ajak ayahandanya pergi ke masjid-masjid tarim, dan berziarah kemakam Zanbal serta inat. Setiap kali menziarahi makam Syeikh Abi Bakar Bin Salim, Habib Abdullah Bin Umar Asy-syathiri selalu berkata “ wahai syeikh Abi Bakar, sungguh aku telah membimbing dan mendidik putramu Hasan bin Ismail, karena itu kumohon bimbinglah dan didiklah putraku Hasan.

Al Habib Hasan Bin Abdullah Asy-syathiri memiliki hubungan yang sangat erat dengan para gurunya terutama guru besar beliau Habib Alwi Bin Abdullah Bin Syahab yang selalu menghormati dan memujinya. Pernah suatu saat Al Habib Alwi Bin Abdullah Bin Syahab berkata di depan rekan-rekannya, “Hasan Bin Abdullah adalah putra ruhku(Walad Ruhi) dan ketika didepan Al Habib Alwi beliau kehabisan suaranya pada saat sedang membaca qasidah, Habib Alwi Berkata “dia perlu di beri gula, tetapi gulanya harus dari Al Faqih Al Muqaddam Muhammad Bin Ali Ba’alwy.”

Tiangkat pendidikan, ma’rifat dan kekhusu’an Habib Hasan Bin Abdullah Asy-syathiri dalam beribadah cukup tinggi. Beliau senantiasa mendawamkan qiyamul lail, tiada henti dalam mendidik, mengajar dan membimbing umat, seperti yang dilakukan oleh datuk-datuknya, Semoga Allah mencurahkan Rahmat dan keridhaan-nya kepada mereka.

Al Habib Umar Bin Hafidz berkata:

Sesunguhnya rahasia perkumpulan kita disini adalah merupakan sebuah bentuk persiapan untuk perkumpulan kita kelak (di hari kiamat) di bawah naungan Al Alim Al Allamah Abdullah Bin Umar Asy-syathiri begitu pula Al Habib Hasan Bin Abdullah Bin Umar Asy-syathiri. Keduanya kelak dihari kiama adalah pewaris kepemimpinan Rasulullah SAW, manusia termulia di padang mahsyar.
Oleh karena itu, makna dari perkumpulan kita ini sangatlah besar, sesuai dengan besarnya amanat-amanat yang beliau pikul, yaitu amanat mendekatkan mahluk dengan Khaliq, amanat menyucikan jiwa dari aneka penyakit hati dan kekotoran, amanat menjaga cara Hidup as salafu ash shalih yang merupakan pewaris Al Musthafa Rasulullah SAW, amanat menyayangi yang kecil dan menghormati yan muda, amanat mengisi waktu-waktu keseharia didalam ataupun diluar negri dengan zikir dan ilmu, serta amanat kepedulian kepada orang-orang dekat maupun orang jauh. Itu semua merupakan sekumpulan sifat baik yang selalu kita saksikan perwujudannya dalam kehidupan Al Habib Hasan Bin Abdullah Asy-syathiri semoga Allah membahagiakan Jiwanya dengan sekian banyak buah karya yang telah beliau persembahkan untuk kita, cahaya kebenaran yang beliau berikan kepada kita serta segala hal positif lainnya yang beliau titipkan baik pada keturunan maupun pada muridnya yang menyebar di berbagai tempat di dunia ini.
READ MORE - Al Habib Hasan Bin Abdullah Asy-syathiri

Wednesday, August 12, 2009

SabarTerhadap Istri Yang Marah

Suatu ketika, seorang laki-laki mendatangi Umar ra. untuk mengadukan perilaku istrinya. Ia menunggu Umar di depan pintu rumahnya. Tiba-tiba laki-laki tersebut mendengar istri Umar sedang memarahinya dan Umar diam saja tidak menanggapi. Laki-laki itu akhirnya pulang dan berkata dalam hatinya, “Jika keadaan Amirulmukminin seperti itu, lalu bagaimana dengan saya?”

Tidak lama kemudian, Umar keluar dan melihatnya berpaling. Umar memanggil laki-laki tersebut dan bertanya, “Apa keperluanmu?”

“Wahai Amirul Mukminin, sebenarnya saya datang untuk mengadukan sikap dan perbuatan istri saya kepada saya. Namun saya mendengar hal yang sama pada istri anda. Akhirnya, saya pulang dan berkata (dalam hati), 'Jika keadaan Amirulmukminin seperti ini, lalu bagaimana dengan saya?'”

“Wahai Saudaraku! Saya tetap sabar (atas perbuatannya) karena memang itu kewajiban saya. Istri sayalah yang memasakkan makanan untuk saya, membuatkan roti untuk saya, mencucikan pakaian, dan menyusui anak saya, sedang semua itu bukanlah kewajibannya. Di samping itu, hati saya merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram). Oleh karena itulah, saya tetap bersabar atas perbuatannya itu,” jawab Umar.

“Wahai Amirulmukminin, istri saya pun demikian,” kata laki-laki tersebut.

“Karena itu, bersabarlah wahai Saudaraku. Ini hanya sebentar,” kata Umar.

Kisah di atas dinukil dari karya Adz-Dzahabi dalam kitab Al-Kaba'ir dan Al Haitami dalam kitab Az-Zawajir.

READ MORE - SabarTerhadap Istri Yang Marah

Wasiat Ummu Iyas

Putrinya telah dilamar oleh 'Amr bin 'Auf bin Hujr, kakek dari penyair Imraul Qais. 'Amr meminangnya kepada ayahnya, dan keduanya kemudian dinikahkan.

Pada saat malam pertama tiba, sang ibu memberikan wasiat kepada putrinya yang berisikan pendidikan terhadap wanita. Siapa pun wanita yang melaksanakan wasiat tersebut akan berhasil menjalani kehidupan rumah tangga dan akan menempati posisi mulia di hati suaminya.

Di dalam wasiat itu terkandung kata-kata indah, pelajaran yang luhur, dan kedalaman pikiran, dimulai dengan persiapan putrinya untuk menerima wasiat darinya, yang lebih mengutamakan kepuasan akal daripada pengaruh perasaan.

"Wahai putriku, kini kau tinggalkan lingkungan asalmu. Kau tinggalkan rumah yang biasa kau tempati ke rumah yang tidak kau kenali dan teman yang belum akrab denganmu. Andai saja perempuan tidak membutuhkan suami dikarenakan kedua orang tuanya lebih membutuhkannya, maka akulah orang yang paling tidak membutuhkan suami. Tetapi perempuan diciptakan untuk laki-laki, sebagaimana laki-laki juga diciptakan untuk perempuan. Dengan kepemilikannya terhadapmu, dia menjadi pengawas dan raja. Dari itu, jadilah kau budak baginya, niscaya dia akan menjadi hamba bagimu. Peliharalah sepuluh kebiasaan yang akan menjadi harta simpananmu.

Adapun yang pertama dan kedua; tunduk kepadanya dengan ikhlas, mendengarkan dengan baik dan taat. Ketiga dan keempat; menjaga pandangan dan penciumannya, jangan sampai dia melihat kejelekan darimu, dan jangan sampai dia mencium darimu kecuali bau yang paling harum. Kelima dan keenam; menjaga waktu tidur dan makannya, sebab rasa lapar yang terus menerus akan membuatnya bergejolak, sedangkan mengganggu tidur bisa membuatnya marah. Ketujuh dan kedelapan; menjaga hartanya, memerhatikan kerabat dan keluarganya. Maka orang yang pandai mengatur harta akan dihormati, dan orang yang mampu mengatur keluarga adalah seorang pengatur yang baik. Kesembilan dan kesepuluh; jangan kau langgar perintahnya, dan jangan kau buka rahasianya. Melanggar perintahnya akan membuat hatinya panas, dan membuka rahasianya akan membuatmu tidak aman dari pengkhianatannya.

Kemudian, janganlah kau bergembira di hadapannya kala dia sedang dirundung duka, atau bersedih kala dia dalam keadaan gembira; yang pertama termasuk kelalaian dan yang kedua adalah pengeruhan.

Janganlah kau menjadi pengekang baginya hingga dia berpaling darimu, dan janganlah kau menjauh darinya hingga dia melupakanmu. Jadilah kau orang yang paling mengagungkannya, niscaya dia akan menjadi orang yang paling setia menemanimu. Ketahuilah, bahwa kau tidak akan menggapai apa yang kau sukai hingga kau menjadikan kerelaannya memengaruhi kerelaanmu dan keinginannya memeranguhi keinginanmu pada apa yang kau suka atau benci. Semoga Allah memberikan yang terbaik bagimu."

READ MORE - Wasiat Ummu Iyas

Thursday, August 06, 2009

Satu Tamparan Menjawab Tiga Pertanyaan

Seorang santri bertanya kepada kiainya, “Ada tiga pertanyaan yang mengganjal di pikiranku, dan menurutku ini adalah petanyaan yang cukup sulit,” ungkapnya.

“Silakan tanya saja, Insya Allah, saya coba membantu.”

“Baiklah. Pertama, jika Allah I itu memang ada, tolong tunjukkan wujudnya. Kedua, apakah takdir itu? Dan ketiga, kalau setan diciptakan dari api, mengapa Allah I menyiksa setan dengan memasukkannya ke dalam neraka yang juga terbuat dari api?”

Sampai di situ, sang kiai langsung menampar pipi si santri dengan keras.

“Itulah jawaban dari semua pertanyaan kamu,” katanya.

“Maksud kiai?”

“Bagaimana tamparan saya? Sakit?”

“Tentu saja,” jawab santrinya.

“Jadi kamu percaya dengan adanya sakit?”

“Itukan biasa.”

“Sekarang tunjukkan wujud sakit itu.”

Si santri pun terdiam.

“Itulah jawaban atas pertanyaan kamu yang pertama. Allah itu ada. Bukti-buktinya terasa. Hanya kita tidak mampu melihatnya. Sebelumnya, apakah kamu bermimpi atau setidaknya memperkirakan bahwa hari ini kamu kena tampar?”

Si satri menggeleng.

“Itulah takdir. Selanjutnya pipi kamu dilapisi apa?” Tanya kiai lagi.

“Kulit,” jawab santrinya.

“Tangan ini?”

“Kulit juga.”

“Itulah jawaban pertanyaan kamu yang ketiga,” kiai mengakhiri jawabannya dengan lugas.


(Dikutip dari dari tulisan Muhammad Zaha al-Farisi dalam bukunya “Like Father Like Son”).

READ MORE - Satu Tamparan Menjawab Tiga Pertanyaan

Wednesday, August 05, 2009

Nabi Tak Pernah Mengislamkan dengan Pedang

Habib Luthfi bin Ali bin Yahya

Murid Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, yang lebih dikenal sebagai Habib Luthfi Pekalongan, tersebar ke berbagai daerah -- bahkan mancanegara. "Enggak bisa ngitung lagi," kata Ketua Jam'iyyah Ahlith ath-Thariqah al-Mu'tabaroh an-Nahdliyyah, perkumpulan tarekat yang diakui (mu'tabar) di bawah Nahdlatul Ulama, ini.


Bila jadwal pengajian tiba, seperti Reboan atau Jumat Kliwonan, ribuan orang datang ke Kanzus Shalawat (Gedung Shalawat), pusat kegiatan Tarekat Syadziliah, di Kampung Noyontaan, Pekalongan, Jawa Tengah, persis di tepi jalan raya lama Jakarta-Semarang. Banyak yang percaya Habib Luthfi bisa menjadi wasilah (penghubung) doa manusia kepada Tuhan.

Karisma Habib Luthfi pulalah yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri datang ke Kampung Noyontaan pada acara Maulid Nabi lalu. Perayaan Maulid merupakan puncak acara Tarekat Syadziliah karena mencakup 68 kegiatan di berbagai tempat di seantero Pekalongan, yang berlangsung selama hampir setengah tahun.


Habib yang memiliki lima cucu ini juga dikenal terbuka dan inklusif sehingga diterima berbagai kalangan. Sampai sekarang, beliau masih mengajar santri di rumahnya, di belakang Kanzus Shalawat. Rabu pekan lalu, Arif A. Kuswardono dan Sohirin dari Tempo menemui Habib Luthfi seusai salat tarawih di rumah tersebut.

Wawancara sempat terputus oleh kegiatannya mengajarkan kitab selama Ramadan. Ada puluhan orang yang mengikuti irsyadat dan taklimat yang digelar tiap malam selepas tarawih selama satu jam. Ditambah tamu yang juga berlipat jumlahnya, Ramadan adalah bulan yang sibuk buat sang Habib. "Saya hanya tidur tiga-empat jam sehari," katanya. Sekitar pukul 23.00, percakapan dilanjutkan di studio musik miliknya yang berisi delapan organ bersusun dan dilengkapi tata suara elektronik.

Habib yang dikenal pandai memainkan sejumlah alat musik ini sudah melahirkan beberapa komposisi. "Umumnya instrumen," katanya seraya menggelitik bilah organ. "Kalau lagu dengan syair, baru dua." Tak lama kemudian, melantunlah lagu Cinta Tanah Air, ciptaannya. Liriknya memuji cinta tanah air yang menjadi cerminan iman seseorang. Musiknya campuran Melayu, dangdut, tarling, dan irama padang pasir. "Supaya anak muda suka," katanya. Dengan suara kalem, terkadang diselingi humor, Habib Luthfi menjawab semua pertanyaan Tempo.

Saat ini ulama menjadi rebutan para politikus. Apa sikap Anda?

Saya terima semuanya. Sebab, dalam partai-partai terdapat aset bangsa. Nah, aset itu wajib kita junjung tinggi dan kita hormati. Tentang pilihan, itu rahasia masing-masing.

Banyakkah pejabat dan politikus yang mengunjungi Anda?

Banyak. (Orang dekatnya menyebut nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir, Ketua Partai Bulan Bintang M.S. Kaban, dan sejumlah jenderal polisi.)

Anda setuju dengan partai yang menggunakan asas agama?

Di Indonesia ini dasar pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita kembali saja ke situ dulu, kemudian diwarnai oleh agama masing- masing. Saya secara pribadi menginginkan penganut agama, agama apapun, menaati ajaran agama untuk bekal kehidupan sehari-hari, sehingga kita bisa ikut membangun bangsa ini. Sebab, kita samasekali tidak ikut andil mendirikan bangsa ini, kita tidak ikut berjuang zaman dulu.

Kita hanya bisa andil menjaga kemerdekaan ini. Caranya membekali mental kita dengan agama yang baik, sehingga kita bisa menjawab tantangan umat. Ada kalangan Islam yang berpendapat syariah Islam wajib diakomodasi karena selama ini kita justru memakai hukum Belanda yang tidak mewadahi aspirasi penduduk yang mayoritas muslim. Negara kita negara kesatuan yang terdiri atas berbagai agama, kepercayaan, dan suku. Sangat heterogen. Saya kira tidak semudah itu membungkus sesuatu.

Kita sudah mempunyai Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang menjamin kebebasan beragama. Itu saja yang kita amalkan dengan didukung keyakinan agama masing-masing. Mari kita membangun bangsa ini ke depan.

Menurut Anda, syariat Islam sudah cukup diakomodasi?

Syariat Islam sudah banyak dijalankan dalam undang-undang pemerintah kita. Lihatlah: kantor agama ada, pengadilan agama ada, pernikahan dilindungi, Maulid Nabi Muhammad juga diperingati. Semuanya itu tidak bertentangan dengan Islam. Nah, inilah yang harus kita pelihara.

Muslim Indonesia kerap dianggap muslim kelas dua karena banyak mistiknya dan tidak radikal. Seharusnya kita seperti muslim Timur Tengah yang militan?

Apakah itu ajaran Nabi? Apakah Nabi pernah mengislamkan seseorang dengan pedang? Tidak pernah! Saya baca hadis, tidak ada yang menyebutkan itu. Bahkan Nabi menjaga hak-hak ekonomi kaum Yahudi. Kalau ada yang bilang begitu, berarti dia tidak kenal Indonesia. Di Indonesia, yang mau dilawan siapa? Apakah kita harus mengangkat senjata kepada orang yang tidak melawan kita? Orang tidak salah kita tempeleng; apakah itu ajaran Islam? Militan itu ideologinya yang kuat. Rasa kebangsaannya yang kuat.

Konteks Indonesia berbeda dengan Timur Tengah?

Apa yang dihadapi di Indonesia berbeda dengan di Timur Tengah. Mestinya Anda bertanya kepada Suudi (Arab Saudi): mengapa orang- orang Suudi yang konon radikalnya luar biasa itu kok tidak pernah mengirimkan pasukannya untuk membela Palestina?

Tentang Ahmadiyah, apakah sikap pemerintah sudah tepat?

Saya kira penerbitan surat keputusan bersama sudah bijaksana. Sejahat apa pun mereka, (Ahmadiyah) adalah bangsa kita. Ahmadiyah kan masih bertuhan? Kalau PKI, kan, tidak bertuhan? Lebih jahat mana antara bertuhan dan yang tidak bertuhan? Mengapa PKI masih kita wong- kan, kok, Ahmadiyah tidak?

Kesalehan individual di Indonesia terus meningkat. Kuota haji selaluterlampaui, pengajian ramai, tayangan agama begitu banyak, tapi kenapa korupsi meruyak dan perbaikan di masyarakat tetap lambat?

Masyarakat awam itu sebenarnya mencari tuntunan. Mereka mencari figur pemimpin yang bisa membimbing rohaninya, sehingga apa yang ada di dalam ajaran agama itu, di samping diyakini, dijadikan keper untuk kehidupan sehari-hari.

Apakah tuntunan Islam belum cukup?

Ajaran Islam sangat kompleks. Selain menanamkan akidah pada umatnya, seperti percaya kepada Allah, Nabi, malaikat, dan seterusnya, Islam mengatur cara makan, bergaul, dan sebagainya.. Misalnya pakaian, Islam mengajarkan bagaimana seseorang terjaga kehormatannya karena pakaian itu. Jadi, Islam tidak hanya mengatur kesehatan fisik, tapi juga kesehatan rohani atau kesehatan batin. Seperti lagu Indonesia Raya, "bangunlah jiwanya" lebih dulu, baru "bangunlah badannya".

Jadi, kalau ada yang melenceng di masyarakat, jiwanya belum beres?

Saya kira tidak perlu sejauh itu, karena hati orang kita tak tahu. Bangunan jiwa ini sudah diatur. Islam setelah mengatur arkanul iman (rukun Iman), lalu arkanul Islam (rukun Islam), selanjutnya baru ihsan. Dari ihsan kita diajari "bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya" . Kalau tidak mampu merasa melihat Tuhan, kita harus merasa menjadi bagian yang dilihat dan didengar oleh Tuhan.

Jadi, perubahan itu memang bertahap?

Pertama kali mungkin kita belum bisa merasakan dampaknya. Tapi, kalau kita terus-menerus merasa menjadi bagian yang dilihat dan didengar Tuhan, akan timbul perubahan. Sebagai contoh, seorang pesilat, kalau sering latihan, pasti akan mempunyai gerak refleks. Sehingga, kalau dia terpeleset, paling tidak 85 persen dia akan selamat dan tidak cedera. Sebaliknya, bagi yang tidak pernah latihan, jika dia terpeleset, akan lebih banyak cederanya ketimbang selamat.

Apa perubahan terbesar bila sudah merasa dekat dengan Tuhan?

Kalau kita sering merasa menjadi bagian yang dilihat Tuhan, akan timbul reaksi. Di antaranya rasa malu. Malu karena perbuatan kita selalu dilihat dan didengar Allah. Malu adalah sebagian tanda iman. Malu akan menambahkan kesempurnaan dalam beriman. Dari malu kepada Allah, malu kepada Nabi, kepada ulama, pahlawan, orang tua, guru,hingga terakhir malu kepada sesama.

Mungkinkah seseorang yang sudah dekat jiwanya dan malu kepada Tuhan malah terus didera kesulitan?

Kesulitan yang diberikan Allah pada hakikatnya adalah untuk pembekalan. Jika mau menengok ke belakang, akan timbul perubahan. Kalau kemarin kita berdagang terus merugi, kita harus melihat apakah servis atau mutu kita sudah bagus atau belum. Jadi, majunya ke depan karena kita mau menengok ke belakang.

Bagaimana rasa malu bisa memperbaiki kualitas kehidupan sosial?

Taruhlah seseorang tidak puasa karena memang pekerjaannya sangat berat. Misalnya pekerja fisik. Kalau tidak bekerja, hari itu mereka tidak bisa makan. Tapi, jika sadar bahwa dirinya menjadi bagian yang akan dilihat Allah, dia tidak akan seenaknya berjalan sambil merokok di bulan puasa. Ini contoh sederhana. Jika rasa malu sudah hidup, perlahan tapi pasti akan mengubah perilaku kita.

Apa rasa malu bisa mendorong disiplin?

Ya, mestinya, setelah muncul rasa malu, meningkat menjadi takut kepada Tuhan. Kalau takut, kita akan bertakwa dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Di sinilah rasa takut menjelma menjadi takwa.

Apa peran tarekat dalam memunculkan rasa malu kepada Tuhan?

Kita membangun jiwa dengan menyebut nama Allah dalam berzikir, sambil merasa dilihat dan didengar oleh Allah. Secara tidak langsung kita selalu diingatkan kepada Allah. Lalu, saat kita membaca selawat, kita diingatkan kepada Muhammad. Apakah tidak malu kalau tidak bisa meniru keteladanan Muhammad? Secara umum, kita juga harus menghormati orang tua dan guru. Rasanya malu kalau sudah dibesarkan orang tua dan diajari oleh guru tapi tidak menuruti nasihatnya. Malu juga dituding menjadi biang kemunduran.

Seperti apakah rasa malu yang bisa menghambat kemajuan?

Malu itu ibarat cangkir. Kalau diisi susu, kan, tidak ada yang salah? Kalau diisi minuman keras, baru dosa. Kalau malu dianggap penyebab kemunduran, apa salah ungkapan al haya' minal iman (malu sebagian dari iman)?

Jadi, menumpuknya masalah bangsa salah satunya karena kita krisis malu?

Saya tidak mau mengatakan bangsa ini krisis akhlak atau krisis malu. Tapi inilah di antara kelemahan-kelemahan kita.

Bila syariah Islam sudah diterapkan tapi musibah terus mendera, apa yang salah?

Saya tidak mau mengungkap cacatnya salah satu wilayah atau keturunan karena seluruh Islam adalah bersaudara.

Mengapa muncul Islam yang radikal bila dasarnya adalah rasa malu?

Saya tidak mau terpengaruh dengan mereka (radikal). Saya punya konsep sendiri untuk mendidik santri, khususnya santri tarekat, sesuai dengan ajaran assalafu al-shalihin (ulama pendahulu) yan sudah membuatkan satu konsep yang luar biasa dalam memahami Al-Quran dan hadis. Kita juga belajar dari dinamika yang telah diajarkan oleh para imam mazhab seperti Syafii, Maliki, dan Hambali.

Para imam mazhab itu sangat menguasai ilmu agama, tapi meski mempunyai perbedaan, mereka saling menghormati. Para imam mazhab tak mengklaim pendapatnya sendiri yang paling benar. Dinamika antar-ulama ini indah. Ibarat musik, meski ada perbedaan alat musik dan aliran musik, musiknya bisa dinikmati. Ada harmoni. Masing-masing juga tidak bisa mengklaim paling benar karena jumlah nada atau not musik cuma 12. Antara satu dan yang lain pasti bersinggungan.

Bagaimana supaya kita tidak keliru arah menjadi radikal?

Harus ada transformasi dan pembekalan. Kalau tidak bisa, ya, ikuti yang baik, yang bisa dipercaya, tidak asal.

Bagaimana supaya puasa atau ibadah tidak sekadar ritual saja, tapi juga berpengaruh pada kehidupan sosial?

Kita ambil contoh yang ringan saja. Bagaimana kita merasakan lapar dan dahaga? Ternyata setetes air dan sebutir nasi sangat bermanfaat. Kita harus menghormati sang pencipta nasi dan setetes air. Secara proses, sebutir nasi itu melibatkan banyak orang, dari ditanam hingga tersaji. Secara sosial, kita harus menghormati orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan nasi. Itu baru sebutir nasi belum lagi tentang air, lauk, dan sebagainya.

Ada contoh lain?

Soal wudu, misalnya. Tiap hari anggota tubuh lima kali dibasuh wudu. Masing-masing tiga kali. Berapa kali satu anggota badan dibasuh dalam sebulan? 450 kali. Setahun? 5.400 kali. Itu baru yang wajib saja. Pertanyaannya: sejauh mana bekasnya kita membasuh anggota tubuh sebanyak itu? Apa "buah" wudu yang kita dapat? Mestinya mata kita bisa menutupi aib orang lain, mulut kita mengucapkan yang baik- baik, tangan kita juga tidak mengambil yang bukan hak. Karena berkah dari wudu, secara sosial kita juga harus lebih baik.

Bagaimana proses puasa "membersihkan" tubuh?

Anda bayangkan perut kita seperti bejana yang tidak pernah dicuci, padahal digunakan untuk memasak aneka makanan selama sebelas bulan. Kira-kira bisa tidak pencernaan kita melakukan metabolisme tubuh dan menghasilkan darah yang baik kalau tidak dibersihkan? Padahal darah tadi akan memasok makanan ke otak. Obat cuci perut hanya terbatas, tidak bisa sampai ke dasar pencernaan tempat virus dan kotoran. Hanya puasa yang bisa menjangkaunya. Jadi, puasa juga berdampak pada pencerdasan kehidupan bangsa.

(Majalah Berita Mingguan TEMPO

edisi 30/XXXVII - 15 September 2008)

Kutipan dari http://www.habiblutfiyahya.net


READ MORE - Nabi Tak Pernah Mengislamkan dengan Pedang

Tuesday, August 04, 2009

MEMANAH

Sesekali, Timur Lenk ingin juga mempermalukan Nasrudin. Karena Nasrudin cerdas dan cerdik, ia tidak mau mengambil resiko beradu pikiran. Maka diundangnya Nasrudin ke tengah-tengah prajuritnya. Dunia prajurit, dunia otot dan ketangkasan.

“Ayo Nasrudin,” kata Timur Lenk, “Di hadapan para prajuritku, tunjukkanlah kemampuanmu memanah. Panahlah sekali saja. Kalau panahmu dapat mengenai sasaran, hadiah besar menantimu. Tapi kalau gagal, engkau harus merangkak jalan pulang ke rumahmu.”

Nasrudin terpaksa mengambil busur dan tempat anak panah. Dengan memantapkan hati, ia membidik sasaran, dan mulai memanah. Panah melesat jauh dari sasaran. Segera setelah itu, Nasrudin berteriak, “Demikianlah gaya tuan wazir memanah.”

Segera dicabutnya sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Masih juga panah meleset dari sasaran. Nasrudin berteriak lagi, “Demikianlah gaya tuan walikota memanah.”

Nasrudin segera mencabut sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Kebetulan kali ini panahnya menyentuh sasaran. Nasrudin pun berteriak lagi, “Dan yang ini adalah gaya Nasrudin memanah. Untuk itu kita tunggu hadiah dari Paduka Raja.”

Sambil menahan tawa, Timur Lenk menyerahkan hadiah Nasrudin.

READ MORE - MEMANAH

PEMUNGUT PAJAK

Pada masa Timur Lenk, infrastruktur rusak, sehingga hasil pertanian dan pekerjaan lain sangat menurun. Pajak yang diberikan daerah-daerah tidak memuaskan bagi Timur Lenk. Maka para pejabat pemungut pajak dikumpulkan. Mereka datang dengan membawa buku-buku laporan. Namun Timur Lenk yang marah merobek-robek buku-buku itu satu per satu, dan menyuruh para pejabat yang malang itu memakannya. Kemudian mereka dipecat dan diusir keluar.

Timur Lenk memerintahkan Nasrudin yang telah dipercayanya untuk menggantikan para pemungut pajak untuk menghitungkan pajak yang lebih besar. Nasrudin mencoba mengelak, tetapi akhirnya terpaksa ia menggantikan tugas para pemungut pajak. Namun, pajak yang diambil tetap kecil dan tidak memuaskan Timur Lenk. Maka Nasrudin pun dipanggil.

Nasrudin datang menghadap Timur Lenk. Ia membawa roti hangat.

“Kau hendak menyuapku dengan roti celaka itu, Nasrudin ?” bentak Timur Lenk. “Laporan keuangan saya catat pada roti ini, Paduka,” jawab Nasrudin dengan gaya pejabat.

“Kau berpura-pura gila lagi, Nasrudin ?” Timur Lenk lebih marah lagi. Nasrudin menjawab takzim, “Paduka, usiaku sudah cukup lanjut. Aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan itu. Jadi semuanya aku pindahkan pada roti hangat ini.”

READ MORE - PEMUNGUT PAJAK

TEMPAT DI AKHERAT

Timur Lenk meneruskan perbincangan dengan Nasrudin soal kekuasaannya.

“Nasrudin! Menurutmu, di manakah tempatku di akhirat, menurut kepercayaanmu ? Apakah aku ditempatkan bersama orang-orang yang mulia atau yang hina ?”

Bukan Nasrudin kalau ia tak dapat menjawab pertanyaan ’semudah’ ini.

“Raja penakluk seperti Anda,” jawab Nasrudin, “Insya Allah akan ditempatkan bersama raja-raja dan tokoh-tokoh yang telah menghiasi sejarah.”

Timur Lenk benar-benar puas dan gembira. “Betulkah itu, Nasrudin ?”

“Tentu,” kata Nasrudin dengan mantap. “Saya yakin Anda akan ditempatkan bersama Fir’aun dari Mesir, raja Namrudz dari Babilon, kaisar Nero dari Romawi, dan juga Jenghis Khan.”

Entah mengapa, Timur Lenk masih juga gembira mendengar jawaban itu.

READ MORE - TEMPAT DI AKHERAT

GELAR

Timur Lenk mulai mempercayai Nasrudin, dan kadang mengajaknya berbincang soal kekuasaannya.

“Nasrudin,” katanya suatu hari, “Setiap khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya: Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil ‘Alallah, Al-Mu’tashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain. Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku ?”

Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa yang bengis. Tapi tak lama, Nasrudin menemukan jawabannya. “Saya kira, gelar yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah* saja.”

* “Aku berlindung kepada Allah (darinya)”

READ MORE - GELAR

ITIK BERKAKI SATU

Sekali lagi Nasrudin diundang Timur Lenk. Nasrudin ingin membawa buah tangan berupa itik panggang. Sayang sekali, itik itu telah dimakan Nasrudin sebuah kakinya pagi itu. Setelah berpikir-pikir, akhirnya Nasrudin membawa juga itik panggang berkaki satu itu menghadap Timur Lenk.

Seperti yang kita harapkan, Timur Lenk bertanya pada Nasrudin, “Mengapa itik panggang ini hanya berkaki satu, Mullah ?”

“Memang di negeri ini itik-itik hanya memiliki satu kaki. Kalau Anda tidak percaya, cobalah lihat di kolam.”

Mereka berdua berjalan ke kolam. Di sana, banyak itik berendam sambil mengangkat sebuah kakinya, sehingga nampak hanya berkaki satu.

“Lihatlah,” kata Nasrudin puas, “Di sini itik hanya berkaki satu.”

Tentu Timur Lenk tidak mau ditipu. Maka ia pun berteriak keras. Semua itik kaget, menurunkan kaki yang dilipat, dan beterbangan.

Tapi Nasrudin tidak kehilangan akal. “Subhanallah,” katanya, “Bahkan itik pun takut pada keinginan Anda. Barangkali kalau Anda meneriaki saya, saya akan ketakutan dan secara reflek menggandakan kaki jadi empat dan kemudian terbang juga.”

READ MORE - ITIK BERKAKI SATU

KELEDAI MEMBACA

Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,

“Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya.”

Nasrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.

Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nasrudin.

“Demikianlah,” kata Nasrudin, “Keledaiku sudah bisa membaca.”

Timur Lenk mulai menginterogasi, “Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?”

Nasrudin berkisah, “Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar.”

“Tapi,” tukas Timur Lenk tidak puas, “Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?”

Nasrudin menjawab, “Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan ?”

READ MORE - KELEDAI MEMBACA

KEADILAN DAN KELALIMAN

Tak lama setelah menduduki kawasan Anatolia, Timur Lenk mengundangi para ulama di kawasan itu. Setiap ulama beroleh pertanyaan yang sama:

“Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal.”

Beberapa ulama telah jatuh menjadi korban kejahatan Timur Lenk ini. Dan akhirnya, tibalah waktunya Nasrudin diundang. Ini adalah perjumpaan resmi Nasrudin yang pertama dengan Timur Lenk. Timur Lenk kembali bertanya dengan angkuh :

“Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal.”

Dan dengan menenangkan diri, Nasrudin menjawab :

“Sesungguhnya, kamilah, para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang lalim dan abai. Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami.”

Setelah berpikir sejenak, Timur Lenk mengakui kecerdikan jawaban itu. Maka untuk sementara para ulama terbebas dari kejahatan Timur Lenk lebih lanjut.

READ MORE - KEADILAN DAN KELALIMAN

TEORI KEBUTUHAN

Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,

“Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, …”

Nasrudin menukas, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.”

Hakim mencoba bertaktik, “Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?”

Nasrudin menjawab seketika, “Tentu, saya memilih kekayaan.”

Hakim membalas sinis, “Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?”

Nasrudin balik bertanya, “Kalau pilihan Anda sendiri?”

Hakim menjawab tegas, “Tentu, saya memilih kebijaksanaan.”

Dan Nasrudin menutup, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya.”

READ MORE - TEORI KEBUTUHAN

PERUSUH RAKYAT

Kebetulan Nasrudin sedang ke kota raja. Tampaknya ada kesibukan luar biasa di istana. Karena ingin tahu, Nasrudin mencoba mendekati pintu istana. Tapi pengawal bersikap sangat waspada dan tidak ramah.

“Menjauhlah engkau, hai mullah!” teriak pengawal. [Nasrudin dikenali sebagai mullah karena pakaiannya]

“Mengapa ?” tanya Nasrudin.

“Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini sedang berlangsung pembicaraan penting. Pergilah !”

“Tapi mengapa rakyat harus menjauh ?”

“Pembicaraan ini menyangkut nasib rakyat. Kami hanya menjaga agar tidak ada perusuh yang masuk dan mengganggu. Sekarang, pergilah !”

“Iya, aku pergi. Tapi pikirkan: bagaimana kalau perusuhnya sudah ada di dalam sana ?” kata Nasrudin sambil beranjak dari tempatnya.

READ MORE - PERUSUH RAKYAT

API

Hari Jum`at itu, Nasrudin menjadi imam Shalat Jum`at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah,

“Api ! Api ! Api !”

Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,

“Dimana apinya, Mullah ?”

Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,

“Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah.”

READ MORE - API

Monday, August 03, 2009

Hubbud-dunya adalah Akar Korupsi

Kita semua sudah anti korupsi, kecuali para koruptor itu sendiri. Kemudian, ada juga banyak orang yang ingin memecahkan problem korupsi, sepertinya berputar-putar di situ saja. Kyai-kyai yang diharapkan menjadi pewaris nabi dengan kepahamannya atas segala macam, ternyata juga banyak yang belum paham.

Apakah problem korupsi seolah lingkaran setan? Dari mana? Kenapa ada masalah korupsi, nepotisme, dst? Saya berpikir bahwa korupsi dan saudara-saudaranya itu jelas ada asal muasalnya. Menurut saya sumbernya adalah dunia itu sendiri. Kita sebenarnya sudah hafal dengan maqalah bahwa:

حُبُ الدُّنْيَا رَآْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ

Cinta dunia adalah pangkal segala malapetaka

Sayangnya, justru seringkali tanpa sadar kita amalkan juga. Nah, saya sangat percaya bahwa sumber malapetaka di negeri ini bermuara kepada cinta dunia yang belebihan, termasuk dalam soal korupsi ini. Jadi, kalau zaman Bung Karno panglimanya politik, zaman Pak Harto panglimanya politik ekonomi, zaman sekarang panglimanya kepentingan; kepentingan duniawi. Ada orang berkelahi, coba cari sumbernya, tentu kepentingan. Orang Islam dengan orang Islam berkelahi, orang NU dengan orang NU berkelahi, itu tidak mungkin berebut surga, tapi sumbernya adalah kepentingan.

Kita semua, dari kyai-kyai pendahulu kita diajarkan bahwa dunia ini hanya sekedar wasilah, bukan ghayah (tujuan). Bahwa hidup di dunia ini ibarat sekedar mampir minum. Tapi negara yang membangun ekonomi sejak Suharto ini meniru negara barat yang berorientasi dunia (material). Akhirnya masyarakatnya juga sama dengan masyarakat sana. Kalau sudah segalanya dunia, al Quran dibaca beribu kali itu tidak akan berpengaruh, apalagi al Quran hanya dagingnya saja (dipahami simbolik saja). Dzikir atau istighatsah tidak akan ada gunanya, kalau Cuma daging saja. Sama dengan dzikirnya Inul, daging saja. Karena itu, seperti apa yang saya katakan, bahwa sumber dari segala sumber itu adalah konsep dunianya kita sudah berubah jauh. Di bawah sadar, diam-diam kita sudah tidak lagi menganggap dunia sebagai perantara/wasilah, tetapi sebagai tujuan. Jadi, karena orientasi inilah korupsi terjadi. Karena itu, kalau ada kesempatan, walaupun tidak ada niat, tidak akan terjadi, dan niat ini, melalui orientasi niat dia semata terhadap dunia.

Orientasi dunia ini dipertebal dengan orientasi yang begitu simbolik atas keberagaman kita. Terlihat situasi sekarang yang berkembang adalah bahwa kita beragama lebih bersifat simbolik, atau tidak substansial. Bahasa saya simbolik itu saya katakan ‘daging’. Negeri kita Indonesia ini, mungkin sudah dapat dikatakan sebagai ‘negeri daging’. Dan akhir-akhir ini, simbol daging yang paling daging pernah terjadi pada rebut-ribut fenomena Inul. Karena itu, lukisan yang saya buat menanggapi fenomena itu, saya beri judul "Dzikir bersama Inul". Semua ini bagian kecil saja dari hal yang meliputi problem kita tentang korupsi.

Tampaknya, keberagaman kita sudah jatuh pada yang sifatnya daging-daging saja. Saat ini, saya kira kita menyaksikan orang jihad fi sabilillah untuk mengegolkan pelajaran agama dimasukkan dalam sekolah-sekolah formal, mulai TK sampai perguruan tinggi. Tetapi, mereka sama sekali tidak melihat pelajarannya itu seperti apa. Padahal, ujiannya hanya seperti berapakah rukun shalat? Kalau jawaban angkanya benar, lulus begitu saja, entah soal paham makna shalat atau tidak, tidak menjadi masalah. Jadi, daging semua. Sekarang ini, substansial/ruh itu sudah semakin jauh, karena kita sudah ke daging dan daging. Jadi, kalau kita ingin mengembangkan gerakan anti korupsi, kita tidak boleh terjebak pada gerakan anti korupsi yang sifatnya ‘daging’nya saja. Sejak awal, kita juga harus mulai melihat dari akarnya, hingga menghentikan korupsi waktu dan lain sebagainya.

Melihat kondisi yang sudah carut marut demikian, seringkali karenanya saya menaruh harapan pada yang muda. Memang, harapan saya tinggal anak-anak muda dan kyai-kyai yang muda juga. Kenapa demikian? Karena, seperti yang sudah saya sebut di atas, banyak yang tua-tua itu, selam 30 tahun ini dididik dan terdidik dengan kecintaan dunia yang mungkin sebagian besar juga mengambil keteladanan Pak Harto. Kita ini sudah jauh dari nilai-nilai kita sendiri. Bagaimana kita mau melawan kebusukan-kebusukan dan semua yang korup, kalau kita sendiri tidak tahu bahwa kita ini busuk atau tidak? Jadi, harapan memang pada yang muda. Karena, yang muda-muda ini relatif belum tercemari model pendidikan hubb al dunya itu dan masih dapat menjaga diri mereka. Merekalah kini memang yang mengerti ‘aturan’ itu, juga yang sebenarnya paham al Quran, seperti telah saya katakan tadi. Selain modal sikap ‘tidak serba dunia’ ini, penting pula mereka yang muda ini paham juga masalahnya, asal-usul korupsi itu apa, dan kalau kita mau melawan dengan model seperti apa.

Dari kalangan NU kultural telah muncul gagasan, bahwa Bahtsul Masail pun bisa kita jadikan sarana untuk berjuang mengingatkan atau (bahkan) mem-pressure orang. Malah Musyawarah Nasional Ulama NU sendiri telah mengeluarkan suatu keputusan mengenai koruptor mati tidak dishalati, yang bisa menjadi awalan sanksi sosial yang berani untuk membangun gerakan anti korupsi dari masyarakat atau rakyat yang selama ini paling banyak dirugikan tindak korupsi tersebut. Nah, di sini kita masih punya optimisme, bahwa mereka dapat mengurangi dan mencegah kecarutmarutan, termasuk yang sangat merusak bangsa seperti korupsi ini.

Saya tadi sudah menyampaikan, sumber korupsi yang paling utama adalah dunia ini. Kita semua, dari kyai-kyai pendahulu kita diajarkan bahwa dunia ini hanya wasilah, bukan ghayah. Kemudian dari pemahaman ini tergantung kitanya sendiri. Mereka yang di pemerintahan siap menerima masukan, kalau kita tidak siap menyampaikan apa-apa, ya tetap saja seperti itu. Sekarang ini kesempatan, NU/kyai sedang jadi primadona lagi di Indonesia ini. Tapi sekali lagi, karena kita juga murid-murid perdagingan itu semua, kyai-kyai sekarang ini mikirnya calon presiden, pilkada dan yang sebangsa itu. Dukungan ini, itu, gitu thok. Itukan sama dengan orang bilang Allahu Akbar di jalan-jalan yang hanya gembar gembor daging.

Nah, saya mengharapkan supaya kyai-kyai muda ini tidak menduplikat model sebagian kyai-kyai lama yang sudah merasa puas dengan apa yang disebut yang simbolik tadi. Kita mempunyai tanggung jawab yang besar, bukan hanya memandaikan masyarakat, tetapi juga menyejahterakan, membikin maslahah bagi masyarakat. Kalau masyarakat ini kacau, karena adanya mereka yang korup-korup, bagaimana kita menolong masyarakat itu, dengan memperbaiki yang korup-korup. Dengan kata yang lebih singkat, kita harus menyadari bahwa tanggung jawab kita itu seberapa besar. Apakah tanggung jawab kyai itu hanya di pesantrer saja ataukah ingin lebih dari itu? Sekarang yang diwarisi itu siapa? Kalau yang diwarisi itu Nabi Muhammad SAW, kita tahu, selain dia nabi juga rasul. Jadi yang diwariskan adalah nubuwwah dan risalah. Bahkan, kyai-kyai telah melaksanakan yang nubuwwah itu, tapi yang risalah sudah diwarisi atau belum? Istilah saya, ada kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Ternyata yang sosial itu sudah jarang disentuh. Kita perlu memikirkan bagaimana keagamaan kita hingga persoalan sosial ini dapat dimengerti akar, daging dan juga kulitnya. Sementara ini, di kalangan NU cultural mulai berkembang, misalnya bagaimana bisa ada fiqh tembakau, dulu ada fiqh tanah, nanti ada fiqh tebu. Tujuan berbagai macam fiqh itu, bukan hanya membahas masalahnya, tetapi ada ikut-ikutannya, ada tindak lanjut dan rekomendasi dari Bahtsul Masail itu. Ini tidak bisa dilakukan, kecuali kita memahami sejauh mana tanggung jawab kita yang sebenarnya. Di sini, kata orang Jakarta, kita perlu paradigma keagamaan yang bisa membangun pemberdayaan rakyat yang terpinggirkan. Atau istilah tadi, selain kesalehan ritual, kita perlu sekali membangun kesalehan sosial.

Jadi, saya menaruh harapan bahwa reformasi di Indonesia (termasuk terhadap korupsi yang besar) tidak bisa dilakukan, kalau tidak ada reformasi keberagamaan. Reformasi keberagamaan juga tidak bisa diharapkan, kecuali melalui kyai-kyai dan santri-santri yang masih segar dan jernih, yang belum terkontaminasi budaya berorientasi dunia itu. Tapi, kita juga perlu peta perhatian kyai itu apa saja dan apa yang kita bisa lakukan. Ini semua harus kita pahami. Kalau tidak kita akan menambah jumlah orang yang antikorupsi, tetapi tidak menyelesaikan apa-apa. Anti-anti tok! Sekali lagi, saya mengharapkan kaum muda untuk betul-betul peduli secara menyeluruh terhadap persoalan-persoalan yang kita hadapi, terutama terkait korupsi. Kemudian, keluarkan perbendaharaan Anda mengenai pedoman-pedoman peraturan keagamaan yang sudah Anda kuasai, bagaimana kita menyiasati itu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sudah Anda ketahui itu. Dengan demikian, Anda akan memberikan sumbangan yang luar biasa dan tidak hanya ilmiah saja, tetapi (lebih dari itu) juga sebagai sumbangsih pengkhidmatan kepada masyarakat.

READ MORE - Hubbud-dunya adalah Akar Korupsi

Islam Ngotot Muncul dari Kota

Budayawan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menyatakan, Islam yang ngotot atau Islam pethenthengan, itu muncul dari kota, bukan dari desa. Karena lumrahnya, orang-orang desalah yang masih setia merawat Islam yang toleran, tengah-tengah dan yang tidak ngotot. “Ini yang bikin saya bangga dengan desa. Ini menurut pengamatan saya yang agak lama. Mungkin saya salah,” katanya tawadhu’.

Ia juga menyatakan, buku-buku karya Abu al-A’la Maududi, Sayyid Qutub, Hasan al-Banna dan sebagainya, kebanyakan diterjemahkan orang kota. “Saya ndak melihat dari kalangan ndeso atau pesantren yang menerjemahkan buku-buku ini,” ujarnya.

Dan memang, diakui Gus Mus, kini semangat keberagamaan yang berlebihan justru muncul dari kota. Semisal Kota Jakarta, Bandung, Solo dan sebagainya. Karena demikian menggebu-gebunya dalam beragama, katanya, akhirnya timbul Islam yang ngotot atau pethenthengan itu. “Kalau nggak begini, nggak sesuai mereka, pokoknya jahannam,” katanya.

Gus Mus menyayangkan semangat orang kota ini, karena acapkali kengototan itu tak dibarengi dengan ketekunan belajar agama. Akhirnya, imbuhnya, terjadi ketidakseimbangan antara semangat keberagamaan dengan pemahamannya terhadap ajaran agama. “Repotnya, lalu mereka merasa seolah-olah mendapat mandat dari Gusti Allah untuk mengatur orang di dunia ini,” kritiknya.

Gus Mus juga mengritik perilaku anarkis kelompok Islam tertentu atas kelompok lain yang berbeda, dengan alasan supaya mereka dicintai Allah SWT. Mereka ini, kata Gus Mus, sesungguhnya belum mengenal Allah SWT, karena Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kasih dan Sayang atas hamba-hamba-Nya.

“Orang yang tidak kenal Gusti Allah tapi ingin menyenangkan-Nya, salah-salah malah mendapat marah-Nya. Jadi tidak logis ada orang mau menyenangkan Allah SWT, tapi tidak mengenal-Nya,” tegas Gus Mus.

Inilah sejatinya, kata Gus Mus, kelompok Islam yang ngaji agamanya tidak tutug alias tidak tuntas. Mereka baru belajar bab al-ghadhab (pasal marah), lantas berhenti mengaji. Dan mereka mengira ajaran Islam hanya sependek itu. Efeknya, ke mana-mana bawaan mereka marah melulu. Padahal, masih ada bab selanjutnya tentang tawadhu’, sabar, dan seterusnya. Mereka inilah yang menjadi masalah, karena siapapun yang berbeda pasti akan disalahkan dan disesatkan.

“Dan sikap pethenthengan ini yang menjadi awal tidak adanya toleransi. Karena pethenthengan juga, kadang orang yang beragama melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya secara tidak sadar. Tapi kalau dasarnya cinta, seperti kaum sufi, itu nggak ada pethenthengan,” ujarnya.

Untuk itu, Gus Mus berpesan, hendaknya kaum muslim belajar terus tanpa henti. Dan berfikirlah segila mungkin, toh ayat al-Qur’an yang menyuruh berfikir itu sama banyaknya dengan ayat al-Qur’an yang menyuruh untuk berzikir. “Jadi, jangan pasang plang dulu ‘saya wakil Pengeran’. Tapi pelajari dulu yang dalam. Kalau tidak, alih-alih dicintai Allah SWT, tapi malah dibenci-Nya,” katanya mengingatkan.

Penulis buku Membuka Pintu Langit (Kompas: 2007) ini lantas mengritik perilaku kelompok Islam tertentu yang gemar merusak properti milik Jemaah Ahmadiyah atau memukuli jemaahnya, karena menganggap mereka sesat. Gus Mus menamsilkan, ada orang yang hendak pergi ke Jakarta lalu berhenti di Rembang Jawa Tengah. Ia lantas berjalan terus ke arah Surabaya. “Mau ke mana?” tanya Gus Mus. “Mau ke Jakarta!” jawab orang itu.

“Saya lalu bilang, mau ke Jakarta kok ke timur? Berarti kamu ini salah alias sesat. Ya, saya tempeleng saja. Apa begini caranya? Cara ini kan nggak bener dan lucu,” kata Gus Mus heran.

Ini terjadi, kata Gus Mus, tak lain karena orang belajar ajaran agamanya tidak tutug atau tuntas. “Baru sarjana muda leren (selesai), lalu merasa sudah S3,” sindirnya.[nhm]
READ MORE - Islam Ngotot Muncul dari Kota

Sunday, August 02, 2009

Check it Out

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

…barangsiapa beramal dengan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada atasnya perkara kami maka dia itu tertolak…(HR Bukhari)

READ MORE - Check it Out