Monday, February 15, 2010

Wali, Karamah dan Thariqah

PETIKAN-PETIKAN UCAPAN SYEIKH ABDUL AZIZ AD-DABAGHRA

DALAM KITAB ‘UQUDUL ALMAS BIMANAQIBIL IMAM AL-‘ARIF BILLAH AL-HABIB AHMAD BIN HASAN AL-‘ATH-THAS, KARYA HABIB ALWI BIN THAHIR AL-HADDAD RHM.

Tokoh ‘Arif, Syekh Ahmad bin al-Mubarak al-Fasi di dalam manaqib gurunya Syarif Quthub al-‘Arifin Abdul Aziz bin Mas’ud ad-Dabbagh al-Idrisi al-Hasani al-Fasi mengungkapkan bahwa ia mendengar Beliau Rahimahullah berkata:
“Orang-orang yang sudah mencapai tingakat karamah para Wali Ra., meski mereka bermanfaat bagi umat manusia pada segi pemahaman tentang Kewalian, tetapi dapat banyak bermadharat bagi mereka lantaran mereka tidak menjelaskan sebatas hal-hal karamah. Mereka sedikitpun tidak menjelaskan mengenai kiat-kiat yang dilakukan para Wali sehingga mereka mendapatkan karamah-karamah tersebut. Bahkan orang yang memikirkan ucapan mereka, meski sudah melihat karamah demi karamah, keanehan demi keanehan, dan kasyaf demi kasyaf, masih juga beranggapan bahwa seorang Wali tidak mampu membuktikan hal-hal yang diajukan kepadanya. Dan tidak ada yang bersifat ajaib walau sudah jelas. Lalu ia pun terjerumus dalam kebodohan yang mendalam. Sebab, ia beranggapan bahwa seorang Wali memiliki sifat-sifat ketuhanan. Dan bahwa ia dapat melakukan sekehendaknya, tidak mempunyai kelemahan. Dan memiliki sifat-sifat Nubuwwah, yaitu terbimbing dari kesalahan”.
“Kebaikan yang terlihat pada tangan seorang Wali itu berasal dari berkah Rasulullah Saw, sebab iman yang merupakan penyebab munculnya kebaikan itu hanya dapat dicapai melalui perantaraan Nabi Saw. Berkaitan dengan Zat Wali, maka sama dengan seluruh zat-zat lain. Berbeda dengan para Nabi, karena mereka telah dikaruniai ‘ishmah. Mereka makan dan memperkuat diri melalui makrifat Allah Ta’ala. Dalam cara yang mereka tidak membutuhkan cara lain untuk diikuti, tidak membutuhkan guru untuk diteladani. Kebenaran telah bersemayam di dalam zat mereka. Ia merupakan huruf-huruf Nubuwwat yang telah tercetak, membimbing mereka ke metode yang kokoh dan jalan yang lurus”.
************
“Sekiranya umat manusia yang menyusun kitab-kitab tentang karamah, mereka bersedia menjelaskan keadaan Wali dalam karangannya, lalu menjelaskan hal-hal yang terjadi padanya sesudah memperoleh karamah, berkaitan dengan peningkatan amal sholeh mereka dan juga hal-hal yang bersifat Fana’, niscaya umat manusia akan memahami kondisi Wali sesungguhnya. Mereka akan mengerti, bahwa ketika seorang Wali berdo’a adakalanya dikabulkan dan adakalanya tidak. Sebagaimana terjadi demikian pada kalangan para Nabi dan Rasul mulia, semoga terlimpah bagi mereka sholawat serta salam”.
Ditambahkan pula bahwa seorang Wali adakalanya meningkatkan kebaktian melalui anggota tubuhnya dan adakalanya sebaliknya, seperti orang lain. Yang membedakan status Wali hanya satu hal saja, yaitu bahwa Allah Ta’ala mengaruniakan keistimewaan kepadanya dalam bentuk makrifat, dan melimpahinya dengan berbagai pembaukaan (futuhat). Dalam pada itu, kalaupun terlihat fenomena sebaliknya, maka itu hanyalah sebatas pengamatan kita, bukan secara hakiki.
Sebab penyaksian yang diperolehnya tidak selaras dengan sikap yang berlawanan. Perbuatan maksiat akan dapat menghalangi sedemikian rupa sehingga tidak dapat dicapai kondisi ‘ishmah, sehingga dengan itu pula Kewalian setara dengan Nubuwwah. Sebab terhalang dari perbuatan maksiat adalah sifat zat para Nabi, tetapi bersifat nisbi pada para Wali. Artinya masih mungkin akan sirna pada para Wali, tetapi tidak mungkin sirna pada kalangan para Nabi. Sedang rahasianya adalah seperti yang sudah kami jelaskan. Artinya, bahwa sisi baik para Nabi bersumber dari zatnya sendiri, sedang sisi baik para Wali buka dari zat mereka. Jadi ‘ishmah para Nabi bersifat esensial, sedang ‘ishmah para Wali bersifat kenisbian (relatif).
Oleh karena itu, seorang ‘Arif yang sempurna apabila terjadi pada dirinya seseuatu yang bersifat ganjil, maka itu bukanlah bentuk hakiki. Itu ditujukan sebagai suatu ujian bagi orang yang menyaksikannya dan bahan suatu ujian, cobaan batin.
Kami memohon kepada Alah Ta’ala, kiranya Dia berkenan membimbing kami agar mempercayai para Wali-Nya sebagaimana Dia telah membimbing kita percaya kepada para Nabi-Nya As.
************
Orang yang memahami sejarah Nabi Saw menyangkut makan minum Beliau, tidur dan bangunnya, dan juga segenap sikap Beliau di dalam rumahnya, niscaya juga akan memahami sejarah peperangan dan pertempuran Beliau. Betapa sesekali Beliau mengalami kemenangan dan sesekali kalah. Betapa Beliau dituntut oleh sejumlah sahabat-sahabat Beliau, lalu mereka pergi tidak mematuhi Beliau. Sebagaimana terjadi pada peperangan ‘Ar-Raji’ dan ‘Bi’r Ma’unah’. Itupun akan mengerti apa yang terjadi pada masa perjanjian Hudaibiyah dan sebagainya. Semua itu merupakan rahasia Ketuhanan. Di situ Allah Ta’ala melihat sikap Nabi kita Saw.
************
“Para Wali dapat melakukan beberapa hal besar yang memang telah ditundukkan oleh Allah SWT dalam hal itu. Sehingga perbuatan-perbuatan tersebut mengundang rasa kagum. Apabila Anda mencermati dengan mata hakiki, niscaya akan terlihat oleh Anda bahwa pelakunya adalah Allah SWT, sedang mereka hanya pengemban saja seperti makhluk-makhluk lainnya, tidak ada bedanya”.
************
“Sesungguhnya yang menjadi target seorang Wali adalah memperjelas tentang Allah Ta’ala, menyatu denganNya, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Apabila datang seseorang yang bertujuan kepadanya, meminta kepadanya agar hajat dan kebutuhannya dpat dikabulkan, tanpa meminta kepada Tuhannya, dan tanpa upaya memahami-Nya, niscaya sang Wali akan mencaci dan memarahi orang itu. Sang Wali akan menjadi orang yang selamat apabila dapat lolos dari musibah yang diturunkan melalui orang itu. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut: Bahwa cintanya kepada si Wali, bukanlah karena Allah Ta’ala, tetapi karena ia mempunyai keahlian. Seseorang yang cinta kepada orang atas dasar ahli, maka itu merupakan kerugaian yang nyata. Tidak akan turun kepadanya cahaya kebenaran selama-lamanya”.
“Juga karena si Wali melihat dengan pandangan yang jelas bahwa orang itu hendak bergantung kepadanya tanpa bergantung kepada Allah. Sehingga ia hendak melepaskan diri daripadanya. Bahkan si hamba ingin lebih dari itu. Sedang si Wali merasa bahwa ia telah melepaskan ‘kurma’ dan hendak memilih ‘bara’”.
“Kurma ibarat makrifat tentang Allah, berhenti di hadapan-Nya. Sementara bara, ibarat memutuskan hubungan dengan-Nya dan berpegang kepada selain Dia, cenderung kepada duniawi, dan merasa senang dengan perhiasan duniawi.
Di antaranya apabila sang Wali menolongnya dalam memenuhi beberapa kebutuhan dan menerimanya melalui beberapa kasyaf, boleh jadi si hamba justru akan beranggapan bahwa sang Wali itulah yang perlu untuk dimengerti dan yang merupakan dambaan masyarakat, tiada tempat meminta yang lain.
Semua itu adalah kesesatan ang justru membangkitkan marah si Wali kepadanya”.
************
“Perumpamaan seorang Wali adalah laksana seseorang yang bekerja seperti tukang keramik, ia menggerak-gerakkan tangannya dan membentuk dengan angggota tubuhnya. Dalam pada itu ia pun mempunyai sejumlah simpanan yang juga dibutuhkan orang lain, seperti bahan makanan dan sejenisnya. Simpanan-simpanan itu meskipun ada padanya, tetapi hatinya tidak menjadi risau karenanya dan tidak di hati, tidak sebanding dengan barang sepele. Ia tidak suka berbicara kecuali berkaitan dengan soal keramik dan pekerjaannya. Ia pun tidak suka orang lain berbicara panjang lebar pada persoalan-persoalan lain. Bahkan membencinya sampai orang yang mangajaknya berbicara dapat disakiti oleh lelaki tersebut.
Manakala datang dua orang yang sudah memahami perangainya dan betapa ia tidak suka membicarakan hal lain kecuali tembikar, ia pun menginginkan sebagian dari simpanannya. Maka yang lebih tepat dan lebih cerdik adalah orang yang mengjaknya berbincang-bincang perihal tembikar. Menanyakan soal pekerjaannya, bagaimana ia bekerja dan terus menerus bersikap seperti itu sampai ia memperoleh simpati dan cinta yang besar dari lelaki itu. KEtika kemudian ia meminta sesuatu dri simpanannya, niscaya akan diberikan sebagian kepadanya dan tidka akan menyakitinya. Sedang lelaki satunya yang sebelumnya datang kepada lelaki itu, sejak pertama sudah meminta sesuatu dari simpanannya, mengajak bercakap-cakap soal barang-barang (makanan) simpanannya, sekiranya ia selamat tidak dipukul keramik kepalanya, maka itu sudah beruntung,. Jadi, keuntungannya maksimal tidak dipukul, itu saja.
Inilah perumpamaan seorang Wali, tiada memiliki karya, tiada keahlian, kecuali makrifat Yang Haq, cara-cara untuk sampai kepada-Nya. Tidak suka berbicara kecuali tentang Dia, tidak suka berkumpul kecuali untuk-Nya. Tiada jalan lain kecuali dari Dia. Tiada kedekatan kecuali kepada-Nya. Orang yang pemahamannya seperti ini, niscaya akan beruntung di dunia dan akhirat, tetapi yang memahaminya selain dengan cara ini, niscaya akan menjadi sebaliknya”.
************
Suatu ketika Beliau pernah ditanya: “Tuanku, semoga Tuan dirahmati Allah, apakah perbedaan antara Thariqah Waliyullah al’Arif asy-Syadzili beserta para pengikutnya, dengan Thariqah al-Ghazali Rahimahullah beserta para pengikutnya?”
Metode kelompok pertama seluruhnya berkaitan dengan rasa syukur, senang menerima karunia nikmat tanpa harus menempuh susah payah dan tanpa beban. Sedang kelompok kedua, metodenya melalui latihan(riyadhah) menentang kesulitan, bersusah payah, tidak tidur malam, menahan lapar, dan sebagainya. Wahai Tuan, manakah kiranya yang ideal untuk diteladani?
Asy-Syadzili hanya memerintahkan agar bersyukur sesudah taqarrub ke arah wushul (sampai kepada tujuan [makrifat]), ataukah dalam posisi seperti itu saja? Ataukah ia memerintakan agar bersyukur dan bersuka ria kepada Allah sejak pertama beranjak dan pada saat ia memulai?
Dan mungkinkah kedua Thariqah itu dilaksanakan oleh orang yang sama? Ataukah tidak memungkinkan bagi salah satunya untuk dicapai kecuali harus dengan meninggalkan yang lain?
Maka jawab Syekh Abdul Aziz ad-Dabbagh Ra.:
Bahwa yang menjadi dasar Thariqah adalah syukur itu sendiri. Sikap itu pulalah yang menjadi Susana hati para Nabi maupun orang-orang yang disucikan di kalngan para sahabat beserta yang lain. Artinya, beribadah kepada Allah Ta’ala melalui peribadatan yang tulus tanpa berharap keuntungan-keuntungan lain, disertai dengan kesadaran akan kelemahan diri dan kekurangan, tidak kuasa untuk secara sempurna memenuhi hak ketuhanan. Sikap seperti itu kokoh di dlaam hati seiring dengan bergulirnya waktu dan zaman.
Manakala Allah Ta’ala melihat adanya kejujuran seseorang dalam hal itu, niscaya Dia akan mengganjar mereka dengan karamah-Nya, baik berupa ‘penglihatan-penglihatan’ (futuh) dalam makrifat-Nya. Ia akan memperoleh rahasia-rahasia iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ketika kelompok lain melihat hasil yang diperoleh mereka itu, seperti ‘penglihatan’, lalu persoalan ‘penglihatan’ itu pun menjadi target serta dambaan mereka. Selanjutnya mereka pun mengejarnya dengan jalan berpuasa dan beribadah malam, bergadang dan berkhalwat. Lalu mereka pun sukses memperolehnya sebagaimana mereka yang mendapati sebelumya itu.
Jadi, hijrah melalui Thariqah ‘Syukur’ merupakan langkah pertama menuju Allah dan Rasul-Nya. Bukan ke arah memperoleh penglihatan (futuh) atau penyingkapan (kasyf). Sedang melalui Thariqah ‘Riyadhah’ adalah ditujukan untuk memperoleh ‘penglihatan’ dan memperoleh kedudukan (maqam). Melalui metode yang pertama adalah perjalanan batin. Sedang yang kedua adalah perjalanan tubuh. Penyingkapan jenis pertama bersifat datang dengan sendirinya. Tidak dapat diperoleh hamba yang berupaya mencapainya.
Ketika seorang hamba sedang berada pada posisi menuntut taubat dan memohon ampunan dari dosa-dosa, maka tiba-tiba datanglah kepadanya penglihatan yang nyata.
Kedua Thariqah tersebut sudah benar. Tetapi Thariqah ‘Syukur’ adalah lebih benar dan lebih tulus. Dan kedua Thariqah itu juga melalui jalur ‘riyadhah’ (berlatih), tetapi yang pertama adalah berlatih batin dengan segala kaitan berkenaan hak-hak Allah Ta’ala, tekun menanti di Pintu-Nya, berlindung kepada Allah Ta’ala baik di dalam gerak maupun diam, menjauhi kelalaian-kelalaian yang datang silih berganti di antara waktu-waktu yang menjelang.
Kesimpulannya, riyadhah di sini berkaitan dengan suasana hati terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dan konsisten dengan sikap begitu, wlaupun secara lahiriyyah tidak terlihat banyak-banyak beribadah. Oleh karena itu terkadang si pelaku melakukan puasa terkadang tidak. Terkadang melakukan ibadah malam terkadang tidur, menggauli istri, dan melaksanakan segenap aktivitas syariat yang berlawanan dengan riyadhah tubuh”.
………………………………..
Kemudian, setelah memperoleh penglihatan, ada sebagian dari mereka yang kembali pada niat semula, hatinya terkait dengan berbagai hal yang disaksikannya pada alam-alam lain. Merasa senang karena memperoleh penyingkapan, berjalan di atas air, berjalan dengan mengambang, dan berpendapat bahwa semua itu adalah tujuan akhirnya.
Ini termasuk orang-orang yang terlepas hati mereka dari Allah ‘Azza wa Jalla sejak langkah pertama dan juga pada akhirnya. Dan itu termasuk amal yang paling merugi. Yaitu orang-orang yang kandas upayanya selama di dunia, sedang ia menyangka bahwa ia telah berbuat sebaik-baiknya.
Ada juga dari mereka yang mengerahkan niatnya sesudah memperoleh penampakkan, dan Allah Ta’ala merahmati mereka, memegang tangannya, dania pun menambatkan hatinya kepada hak-hak Alah Ta’ala dan menjauhi dari selain-Nya. Inilah kondisi orang-orang yang juga memperoleh ‘penglihatan’ yang pada langkah pertamanya melalui Thariqah ‘Syukur’. Betapa jauh perbedaan antara kedua cara tempuh tersebut. Dan terlihat jelas hal-hal yang menjadi taget pelaku-pelakunya.
Kesimpulannya, perjalanan melalui Thariqah pertama adalah perjalanan hati, sedangkan Thariqah kedua adalah perjalanan tubuh. Niat pada kelompok pertama adalah tulus. Sedang pada kelompok kedua adalah rancu. Penglihatan yang datang pada kelompok pertama bersifat sekonyong-konyong, bukan melalui upaya pencapaian dari pihak sang hamba. Jadi, bersifat ‘Rabbani’. Sedang perjalanan pada kelompok kedua dicapai melalui upaya dan sebab. Oleh karena itu perbandingkanlah kedua kelompok tersebut.
Penglihatan jenis pertama, tidak dapat diperoleh kecuali oleh seorang mukmin yang Arif, tersayang dan dekat. Berlawanan dengan penampakkan jenis kedua. Bahkan sering Anda dengar ada dukun-dukun atau rahib-rahib Yahudi yang melakukan berbagai riyadhah, mereka pun dapat memperoleh sebagian karunia yang bersifat ujian (istidraj).
………………………………..
Di sini kami membahas sepenuhnya tentang riyadhah. Ada yang berasal dari orang yang berniat benar, ada yang berasal dari orang yang berniat batil. Kami tidak membahas riyadhah yang dilakukan oleh Abu Hamid al-Ghazali Rahimahullah secara khusus. Sebab beliau adalah seorang Imam hakiki dan seorang Wali yang tulus.
Menyangkut pertanyaan Anda ‘Apakah memungkinkan untuk dilakukan oleh orang yang sama?’ (Artinya memadukan dua Thariqah secara bersamaan)
Jawabnya: Itu mungkin saja. Sebab salah satu dengan yang lain tidak saling bertolak belakang. Jadi memungkinkan bagi seseorang untuk menambatkan hatiya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam segenap gerak dan diamnya, sementara mempergunakan saran lahiriyyah untuk bermujahadah dan riyadhah. Allah- lah yang lebih mengetahuinya”.
************
Yang dimaksud dengan pendidikan (tarbiyah) adalah penjernihan jiwa, membersihkannya dari kotoran, sehingga mampu untuk memikul batin. Dan itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara melenyapkan kegelapan yang ada di dalamnya, dan memutuskan ikatan kebatilan dari hadapannya, lalu memutuskan yang batil dari batin. Adakalanya melalui kesucian yang menjadi dasar fitrahnya. Artinya, Allah yang membersihkannya tanpa sarana lain. Dan yang seperti ini adalah kondisi generasi ketiga yang luhur, yang terdiri dari generasi orang-orang yang lebih baik. Sebab ketika itu masyarakat cenderung kepada kebenaran. Mereka menggalinya. Tidur bersama kebenaran, terbangun pun terbangun oleh kebenaran, bergerak bersama kebenaran. Sehingga ketika Allah membukakan hatinya, maka ia dapati akal pikirannya berada di situ. Sekalipun demikian tidak banyak orang-orang menambatkan hatinya kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu mencari upaya untuk dapat mencapai keridhaan keduanya.
Oleh karena itu terdapat banyak kebaikan pada mereka, dan memancar pula cahaya kebenaran dari zat mereka. Bermunculan dari mereka berbagai ilmu dan meningkatnya derajat kesungguhan yang tidak dapat dibayangkan dan tiada terpikulkan.
Pendidikan pada masa-masa ini memang tidaklah dibutuhkan. Manakala seorang Guru berjumpa dengan muridnya, bergaul dengan sikap batin Gurunya, mewarisi nur-nya, maka ia pun akan berbicara di telinganya. Maka secara sepontan akan terjadilah penglihatan (futuh) pada si murid hanya seperti itu saja. Lantaran sucinya diri dan kejernihan pikiran dan kesungguhannya untuk berada di jalan yang lurus. Bahkan adakalanya muncul sebab-sebab dari pihak si Guru, maksud kami lenyapnya kegelapan itu melalui jiwa sang Guru. Tarbiyah seperti itu terjadi pada masa sesudah generasi istimewa berlalu.
Pada saat sudah terjadi kerusakan niat lalu menjadi sirna dan lenyap, akal pikiran menjadi tertambat kepada duniawi. Berupaya untuk memperoleh hawa nafsun dan menganggap suci diri sendiri. Kemudian seorang Guru yang memiliki bashirah (mata hati) mengajar kepada muridnya dan mewariskannya. Ia pun mengenalnya dn memandang kepadanya, tetapi akal pikirannya tetap terikat dengan hal-hal yang batil dan keinginan untuk mengikuti hawa nafsu. Kemudian dirinya pun mengikuti akal. Lalu menjadi lalai bersama orang-orang yang lalai, lupa bersama orang-orang yang lupa, cenderung kepada orang-orang batil. Anggota tubuh bergerak seiring langkah-langkah tidak terpuji. Lantaran akal pikiran yang merupakan pengaturnya sudah terikat dengan kebatilan, bukan kepada kebenaran.
Apabila sudah terdapat kondisi seperti ini, ia pun akan memerintahkannya agar melakukan khalwat dan dikir, mengurangi porsi makan. Dengan cara berkhalwat (mengucilkan diri), ia pun akan terputus hubungan dengan orang-orang yang bermoral rusak yang termasuk kategori orang-orang mati (hatinya). Melalui dzikir akan dapat melenyapkan ucapan-ucapan batil, main-main, dan olok-olok yang terbiasa diucapkan oleh lidah-lidahnya. Dengan mengurangi porsi makan, akan dapat mengurangi uap yang terdapat di dalam darah yang dapat membersihkan hawa nafsu. Kemudian kembalilah akal pikiran untuk menambat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila si murid sudah sampai pada tahap kesucian dan kejernihan seperti ini, maka jiwanya sudah mampu untuk mengemban sir (rahasia). Inilah yang menjadi tujuan Guru dalam men-tarbiyah muridnya dalam melakukan khalwat. Cara-cara seperti itu tetap berlaku sampai satu masa berbaur antara yang benar (haq) dengan yang batil, dan antara cahaya dengan kegelapan. Lalu orang-orang batil membina orang-orang yang datang kepada mereka (untuk berguru) dengan cara memasuki khalwat. Membaca Asma-asma Allah atas dasar niat yang buruk, dengan tujuan yang berlawanan dengan kebenaran. Bahkan adakalanya melibatkan niat-niat untuk mengambil khadam (pendamping/pembantu dari alam ghaib) yang justru akan menjerumuskan mereka ke arah makar kepada Allah dan masuk ke dalam fitnah.
Hal-hal seperti ini terjadi dalam beberapa kurun waktu didapati oleh Syekh Amad Zaruq Rahimahullah dan juga oleh Guru beliau. Lalu beliau memberikan nasehat-nasehat kepada mereka agar membimbing masyarkat untuk kembali meninggalkan pendidikna seperti itu, yang telah banyak melibatkan banyak orang-orang jahat. Agar mereka membawa manusia ke halaman rasa tentram yang di situ tidak ada lagi perasaan takut dan gelisah, yaitu dengan cara mengikuti Kitabullah dan Sunnah yang melalui keduanya itu tidak akan menjadi sesat lagi.
Jadi, penjelasan Beliau Rahimahullah itu dinyatakan dalam bentuk nasehat dan saran agar berhati-hati, bukan semata-mata hendak menghentikan pendidikan hakiki secara mutlak. Tidak mungkin Beliau bersikap seperti itu. Sebab cahaya Nabi Saw itu abadi, kebaikannya adalah lengkap, berkahnya pun bersifat umum sampai hari kiamat”.

Dikutip dari terjemah Buku ‘Wali, Karomah dan Thariqah’, dalam pandangan Al-Habib Alwi b. Thahir al-Haddad. Penerbit Hayat Publishing.
READ MORE - Wali, Karamah dan Thariqah

Monday, February 08, 2010

ABU YAZID AL-BUSTHOMI

KISAH ABU YAZID SANG RAJA PARA MISTIK

Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami. Lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874M

MASA REMAJA

Kakek Abu Yazid al Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. "Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya" , ibunya sering berkata pada Abu Yazid, "engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali". Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.

Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari Al Qur-an. pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surat Lukman yang berbunyi, "Berterimakasihlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu". Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Abu Yazid meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, "Ijinkanlah aku untuk pulang,. Ada yang hendak kukatakan pada ibuku".


Si guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang kerumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata,"Thoifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa?"


"Tidak" jawab Abu Yazid "Pelajaranku sampai pada ayat dimana Alloh memerintahkan agar aku berbakti kepadaNya dan kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Alloh sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Alloh semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata".


"Anakku" jawab ibunya "aku serahkan engkau kepada Alloh dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Alloh.


Di kemudian hari Abu Yazid berkata, "Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segalasesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Alloh.


Kejadiannya adalah sebagai berikut:Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka akupun mengambilnya, ternyata didalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itupun kosong. Oleh karena itu, aku pergi kesungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur"."malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tangaku kaku.


"Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?" ibuku bertanya.

"Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena", jawabku.Kemudian ibu berkata kepadaku, "Biarkan saja pintu itu setengah terbuka"
"Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali".

(Wahai ingatkah kita di Qur'an Surat Al-Baqoroh 255) Sedang Alloh tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur. Selalu terjaga. Mengapakah kita masih sering terlena??


Setelah si ibu memasrahkan anaknya pada Alloh, Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negri ke negri lain selama tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk dihadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya,"Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu".


"Jendela? Jendela yang mana?", tanya Abu Yazid.

"Telah sekian lama engkau belajar disini dan tidak pernah melihat jendela itu?"
"Tidak", jawab Abu Yazid, "apakah peduliku dengan jendela.Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini"."Jika demikian", kata si guru," kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai".

(Wahai, bagaimanakah saat kita sholat? Bukankah saat itu kita menghadap pada Sang Maha Kuasa?) Mengapakah masih peduli terhadap lainnya? Pikiran masih melantur kemana-mana, hati masih diskusi sendiri?" Celakalah engkau yang sholat, yaitu engkau yang di dalam sholatmu lalai" Fawailulil musholin aladzinahum ansholatihim sahun". "Inna sholati li dzikri"


Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat tertentu ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Mekkah (diartikan menghina kota Mekah), karena itu segera ia memutar langkahnya.
"Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Alloh", Abu Yazid berkata mengenai guru tadi,"niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang dilakukannya"
Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah mesjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid itu.

(syari'at tanpa hakekat adalah kosong sedang hakekat tanpa syari'at adalah batal)

Setiap kali Abu Yazid tiba di depan sebuah masjid, sesaat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis.
"Mengapa engkau selalu berlaku demikian?" tanya salah seseorang kepadanya. "Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid", jawabnya.

(Lihatlah do'a Nabi Adam atau do'a Nabi Yunus a.s"Laa ilaha ila anta Subhanaka inni kuntum minadholimin", Tidak ada tuhan melainkan engkau yaa Alloh, sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang dholim. Atau lihat do'a Abunawas,' Ya Alloh kalau engkau masukkan aku ke dalam sorga, rasanya tidaklah pantas aku berada di dalam sorga.

Tetapi kalau aku kau masukkan ke dalam neraka, aku tidak akan tahan, aku tidak akan kuat ya Alloh, maka terimalah saja taubatku)

Perjalanan Abu Yazid menuju Ka'bah memakan waktu dua belas tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia bersua dengan seorang pengkhotbah yang memberikan pengajaran di dalam perjalanan itu, Abu Yazid segera membentangkan sajadahnya dan melakukan sholat sunnah dua roka'at. Mengenai hal ini Abu Yazid mengatakan: "Ka'bah bukanlah serambi istana raja, tetapi suatu tempat yang dapat dikunjungi orang setiap saat".

Akhirnya sampailah ia ke Ka'bah tetapi ia tidak pergi ke Madinah pada tahun itu juga. "Tidaklah pantas perkunjung an ke Madinah hanya sebagai pelengkap saja", Abu Yazid menjelaskan, "Saya akan mengenakan pakaian haji yang berbeda untuk mengunjungi Madinah".

Tahun berikutnya sekali lagi ia menunaikan ibadah Haji. Ia mengenakan pakaian yang berbeda untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai menempuh padang pasir. Di sebuah kota dalam perjalanan tersebut, suatu rombongan besar telah menjadi muridnya dan ketika ia meninggalkan tanah suci, banyak orang yang mengikutinya

"Siapakah orang-orang ini?", ia bertanya sambil melihat kebelakang.
"Mereka ingin berjalan bersamamu", terdengar sebuah jawaban.
"Ya Alloh!", Abu Yazid memohon, "Janganlah Engkau tutup penglihatan hamba-hambaMu karenaku".

Untuk menghilangkan kecintaan mereka kepada dirinya dan agar dirinya tidak menjadi penghalang bagi mereka, maka setelah selesai melakukan sholat shubuh, Abu Yazid berseru kepada mereka, "Ana Alloh ,Laa ilaha illa ana, Fa'budni". Sesungguhnya Aku adalah Alloh, Tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka Sembahlah Aku"

"Abu Yazid sudah gila!", seru mereka kemudian meninggalkannya.

Abu Yazid meneruskan perjalanannya. Di tengah perjalanan, ia menemukan sebuah tengkorak manusia yang bertuliskan, Tuli, bisu, buta ...mereka tidak memahami. Sambil menangis Abu Yazid memungut tengkorak itu lalu menciuminya."Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi", gumamnya," yang menjadi tauhid di dalam Alloh ... ia tidak lagi mempunyai telinga untuk mendengar suara abadi, tidak lagi mempunyai mata untuk memandang keindahan abadi, tidak lagi mempunyai lidah untuk memuji kebesaran Alloh, dan tak lagi mempunyai akal walaupun untuk merenung secuil pengetahuan Alloh yang sejati. Tulisan ini adalah mengenai dirinya".

Suatu ketika Abu Yazid di dalam perjalanan, ia membawa seekor unta sebagai tunggangan dan pemikul perbekalannya."Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!", seseorang berseru.
Setelah beberapa kali mendengar seruan ini, akhirnya Abu Yazid menjawab, "Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban".
Kemudian si pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada di atas punggung onta tersebut. Barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut.

"Maha besar Alloh, benar-benar menakjubkan!", seru si pemuda.
"Jika kusembunyikan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku", kata Abu Yazid kepadanya.
"Tetapi jika kujelaskan kenyataan-kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?"

(Menuruti orang itu memang nggak ada benernya, seperti kisah Luqman saat mendidik anaknya, diajaknya anaknya kepasar dengan membawa keledai. Awalnya Luqman yang naik keledai itu. Lewatlah di suatu desa. Orang-orang disitu berteriak mencemooh. "Lihatlah itu, seorang Bapak yang tega pada anaknya. Udara panas begini, anaknya disuruh jalan kaki sedang Bapaknya enak-enak di atas keledai." . "Catat itu anakku "kata Luqman, kemudian ganti dia yang berjalan sedang anaknya dinaikkan keledai. Lewatlah mereka di satu desa lagi. Orang-orang di desa itu melihat mereka dengan mencemooh,"Lihat itu , jaman sudah edan, itulah contoh anak durhaka pada orang tua, anaknya enak-enak naik keledai, sedang Bapaknya yang sudah tua disuruh jalan kaki diudara panas seperti ini"."Catat itu anakku", kata Luqman lagi.

Kini, dua-duanya berjalan kaki. Jadi iring-iringan bertiga dengan keledainya berjalan kaki. Lewatlah mereka di satu desa. Orang-orang di desa itu mencemooh,"Lihat itu, orang-orang bodoh, mereka bercapek-capek jalan kaki sementara ada tunggangan keledai dibiarkan saja"."Catat itu anakku"kata Luqman . Mereka mencari bambu panjang, dan sekarang keledainya mereka panggul berdua. Lewatlah mereka disatu desa lain. Orang-orang di situ melihat mereka dan mencemooh,"Lihat itu Bapak dan anak sama-sama gila, Keledai tidak apa-apa dipanggul. Enaklah jadi keledainya." Lukman berkata pada anaknya" Catat itu waahai anakku. Kalau engkau menuruti omongan orang-orang, maka tidak akan pernah benar. Maka kuatkanlah keyakinanmu.)


MI'ROJ

Abu Yazid mengisah, "Dengan tatapan yang pasti aku memandang Alloh setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluq-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasiaNya dan menunjukkan kebesaranNya kepadaku.

Setelah menatap Alloh akupun memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan CahayaNya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaranNya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaanNya. Di dalam Alloh segalanya suci sedang didalam diriku segalanya kotor dan cemar.

Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Alloh. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaranNya. Apapun yang telah kulakukan, hanya karena kemahakuasaanNya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Alloh, bukan dari diriku sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepadaNya.
Aku bertanya, "Ya Alloh, apakah ini?"

Dia menjawab, "Semuanya adalah Aku, tidak ada sesuatupun juga kecuali Aku. Dan sesungguhnya tidak ada wujud selain wujudKu"Kemudian Ia menjahit mataku sehingga aku tidak dapat melihat. Dia menyuruhku untuk merenungi akar permasalahan, yaitu diriNya sendiri. Dia meniadakan aku dari kehidupanNya sendiri, dan Ia memuliakan diriku.
Kepadaku dibukakanNya rahasia diriNya sendiri sedikitpun tidak tergoyahkan oleh karena adaku. Demikianlah Alloh, Kebenaran Yang Tunggal menambahkan realitas kedalam diriku. Melalui Alloh aku memandang Alloh, dan kulihat Alloh didalam realitasNya.

Di sana aku berdiam dan beristirahat untuk beberapa saat lamanya. kututup telinga dari derap perjuangan. Lidah yang meminta-minta kutelan ke dalam tenggorokan keputusasaan. Kucampakkan pengetahuan yang telah kutuntut dan kubungkamkan kata hati yang menggoda kepada perbuatan-perbuatan aniaya. Di sana aku berdiam dengan tenang. Dengan karunia Alloh aku membuang kemewahan-kemewahan dari jalan yang menuju prinsip-prinsip dasar.

Alloh menaruh belas kasih kepadaku. Ia memberkahiku dengan pengetahuan abadi dan menanam lidah kebajikanNya ke dalam tenggorokanku. Untuk diciptakanNya sebuah mata dari cahayaNya, semua makhluk kulihat melalui Dia. Dengan lidah kebajikan itu aku berkata-kata kepada Alloh, dengan pengetahuan Alloh kuperoleh sebuah pengetahuan, dan dengan cahaya Alloh aku menatap kepadaNya.

Alloh berkata kepadaku, "Wahai engkau yang tak memiliki sesuatupun jua namun telah memperoleh segalanya, yang tak memiliki perbekalan namun telah memiliki kekayaan".

"Ya Alloh"jawabku" Jangan biarkan diriku terperdaya oleh semua itu. Jangan biarkan aku puas dengan diriku sendiri tanpa mendambakan diri Mu. Adalah lebih baik jika Engkau menjadi milikku tanpa aku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa Engkau.Lebih baik jika aku berkata-kata kepadaMu melalui Engkau, daripada aku berkata-kata kepada diriku sendiri tanpa Engkau".

Alloh berkata, "Oleh karena itu perhatikanlah hukumKu dan janganlah engkau melanggar perintah serta laranganKu, agar Kami berterima kasih akan segala jerih payahmu"

"Aku telah membuktikan imanku kepadaMu dan aku benar-benar yakin bahwa sesungguhnya Engkau lebih pantas untuk berterimakasih kepada diriMu sendiri dari pada kepada hambaMu. Bahkan seandainya Engkau mengutuk diriku ini, Engkau bebas dari segala perbuatan aniaya"

"Dari siapakah engkau belajar?", tanya Alloh.

"Ia Yang Bertanya lebih tahu dari ia yang ditanya",jawabku," karena Ia adalah Yang Dihasratkan dan Yang Menghasratkan, Yang Dijawab dan Yang Menjawab, Yang Dirasakan dan Yang Merasakan, Yang Ditanya dan Yang Bertanya".

Setelah Dia menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar seruan puas dari Aloh. Dia mencap diriku dengan cap kepuasanNya. Dia menerangi diriku, menyelamatkan diriku dari kegelapan hawa nafsu dan kecemaran jasmani. Aku tahu bahwa melalui Dialah aku hidup dan karena kelimpahanNya-lah aku bisa menghamparkan permadani kebahagiaan di dalam hatiku.

"Mintalah kepadaKu segala sesuatu yang engkau kehendaki", kata Alloh. "Engkaulah yang kuinginkan",jawabku, "karena Engkau lebih dari kemurahan dan melalui Engkau telah kudapatkan kepuasan di dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku, telah kugulung catatan-catatan kelimpahan dan kemurahan. Janganlah Engkau jauhkan aku dari diriMu dan janganlah Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih rendah daripada Engkau".

Beberapa lama Dia tak menjawab. Kemudian sambil meletakkan mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku, berkatalah Dia,:"Kebenaranlah yang engkau ucapkan dan realitaslah yang engkau cari, karena itu engkau menyaksikan dan mendengarkan kebenaran". "Jika aku telah melihat".,kataku pula, "melalui Engkau-lah aku melihat, dan jika aku telah mendengar, melalui Engkaulah aku mendengar. Setelah Engkau, barulah aku mendengar".

Kemudian kuucapkan berbagai pujian kepadaNya. Karena itu Ia hadiahkan kepadaku sayap keagungan, sehingga aku dapat melayang-layang memandangi alam kebesaranNya dan hal-hal menakjubkan dari ciptaanNya. Karena mengetahui kelemahanku dan apa-apa yang kubutuhkan, maka Ia menguatkan diriku dengan perhiasan-perhiasanNya sendiri.

Ia menaruh mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan membuka pintu istana ketauhidan untukku. Setelah Ia melihat betapa sifat-sifatku tauhid ke dalam sifat-sifaNya, dihadiahkanNya kepadaku sebuah nama dari hadiratNya sendiri dan berkata-kata kepadaku dalam wujudNya sendiri. Maka terciptalah Tauhid Dzat dan punahlah perpisahan.

"Kepuasan Kami adalah kepuasanmu", kataNya, "dan kepuasanmu adalah kepuasan Kami. Ucapan-ucapanmu tak mengandung kecemaran dan tak seorangpun akan menghukummu karena ke-aku-anmu".

Kemudian Dia menyuruhku untuk merasakan hunjaman rasa cemburu dan setelah itu Ia menghidupkan aku kembali. Dari dalam api pengujian itu aku keluar dalam keadaan suci bersih. Kemudian Dia bertanya,: "Siapakah yang memiliki kerajaan ini"
"Engkau", jawabku
"Siapakah yang memiliki kekuasaan?"

"Engkau", jawabku
"Siapakah yang memiliki kehendak?"
"Engkau", jawabku
Karena jawaban-jawabanku itu persis seperti yang didengarkan pada awal penciptaan, maka ditunjukkanNya kepadaku betapa jika bukan karena belas kasihNya, alam semesta tidak akan pernah tenang, dan jika bukan karena cintaNya segala sesuatu telah dibinasakan oleh keMahaPerkasaanNya. Dia memandangku dengan mata Yang Maha Melihat melalui medium Yang Maha memaksa, dan segala sesuatu mengenai diriku sirna tak terlihat.

Di dalam kemabukan itu setiap lembah kuterjuni. Kulumatkan tubuhku ke dalam setiap wadah gejolak api cemburu. Kupacu kuda pemburuan di dalam hutan belantara yang luas. Kutemukan bahwa tidak ada yang lebih baik dari pada kepapaan dan tidak ada yang lebih baik dari ketidak berdayaan (fana-red). Tiada pelita yang lebih terang dari pada keheningan dan tiada kata-kata yang lebih merdu dari pada kebisuan. Dan tiada pula gerak yang lebih sempurna dari pada diam. Aku menghuni istana keheningan, aku mengenakan pakaian ketabahan, sehingga segala masalah terlihat sampai keakar-akarnya. Dia melihat betapa jasmani dan rohaniku bersih dari kilasan hawa nafsu, kemudian dibukakanNya pintu kedamaian di dalam dadaku yang kelam dan diberikanNya kepadaku lidah keselamatan dan ketauhidan.

Kini telah kumiliki sebuah lidah rahmat nan abadi, sebuah hati yang memancarkan nur ilahi, dan mata yang ditempa oleh tanganNya sendiri. Karena Dia-lah aku berbicara dan dengan kekuasaanNya-lah aku memegang. Karena melalui Dia aku hidup, karena Dia-lah Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Menghidupi, maka aku tidak akan pernah mati. Karena telah mencapai tingkat keluhuran ini, maka isyaratku adalah abadi, ucapanku berlaku untuk selama-lamanya, lidahku adalah lidah tauhid dan ruhku adalah ruh keselamatan, ruh Islam,. Aku tidak berbicara mengenai diriku sendiri sebagai seorang pemberi peringatan. Dia-lah yang menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendakNya, sedang aku hanyalah seseorang yang menyampaikan. Sebenarnya yang berkata-kata ini adalah Dia, bukan aku.

Setelah memuliakan diriku Dia berkata, "Hamba-hambaKu ingin bertemu denganmu". "Bukanlah keinginanku untuk menemui mereka", jawabku. "Tetapi jika Engkau menghendakiku untuk menemui mereka, maka aku tidak akan menentang kehendakMu. Hiaslah diriku dengan ke-esaanMu, sehingga apabila hamba-hambaMu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaanMu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta semata-mata, bukan diriku ini".

Keinginanku ini dikabulkanNya. DitaruhNya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku.

Setelah itu Dia berkata, "temuilah hamba-hambaKu itu".Akupun berjalan selangkah menjauhi hadiratNya. Tetapi pada langkah yang kedua aku jatuh terjerumus. Terdengarlah seruan,:

"Bawalah kembali kekasihKu kemari. Ia tidak dapat hidup tanpa Aku dan tidak ada satu jalanpun yang diketahuinya kecuali jalan yang menuju Aku".

Setelah aku mencapai taraf tauhid Dzat-itulah saat pertama aku menatap Yang Esa-bertahun-tahun lamanya aku mengelana di dalam lembah yang berada dikaki bukit pemahaman. Akhirnya aku menjadi seekor burung dengan tubuh yang berasal dari ke-esa-an dan dengan sayap keabadian. Terus menerus aku melayang-layang di angkasa kemutlakan. Setelah terlepas dari segala sesuatu yang diciptakanNya, akupun berkata, " Aku telah sampai kepada Sang Pencipta. Aku telah kembali kepadaNya".

Kemudian kutengadahkan kepalaku dari lembah kemuliaan. Dahagaku kupuaskan seperti yang tak pernah terulang di sepanjang zaman. Kemudian selama tiga puluh ribu tahun aku terbang di dalam sifatNya yang luas, tigapuluh ribu tahun di dalam kemuliaan perbuatanNya, dan selama tiga puluh ribu tahun di dalam keesaan DzatNya. Setelah berakhir masa sembilan puluh ribu tahun, terlihat olehku Abu Yazid, dan segala yang terpandang olehku adalah aku sendiri.

Kemudian aku jelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai diakhir penjelajahan itu terlihat olehku bahwa aku masih berada pada tahap awal kenabian. Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak berkesudahan di lautan tanpa tepi itu untuk beberapa lama, aku katakan, "Tidak ada seorang manusiapun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini".

Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di tapak kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat kubayangkan.

Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Alloh. Surga dan neraka ditunjukkan kepada ruhku itu tetapi ia tidak peduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya peduli?. Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Alloh, Nabi Muhammad SAW, terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang pertama itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehinga aku menjadi sirna. Tetapi betapapun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad. Walaupun aku telah berjumpa dengan Alloh, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad.

Kemudian Abu Yazid berkata, "Ya Alloh, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepadaMu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus keakuan ini, apakah yang harus kulakukan?"

Maka terdengarlah perintah, "Untuk melepas keakuanmu itu ikutilah kekasih Kami, Muhammad, si orang Arab. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya.

Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak bertepi dan kutenggelamkan diriku kedalam tirai-tirai cahaya yang mengelilingi Muhammad. Dan kemudian tak kulihat diriku sendiri, yang kulihat Muhammad. Aku terdampar dan kulihat Abu Yazid berkata," aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak Muhammad.

ANTARA ABU YAZID DAN YAHYA BIN MU'ADZ

Yahya bin Mu'adz-salah seorang tokoh sufi, aulia, waliyulloh, jaman itu, menulis surat kepada Abu Yazid," Apakah katamu mengenai seseorang yang telah mereguk secawan arak dan menjadi mabuk tiada henti-hentinya?"
"Aku tidak tahu", jawab Abu Yazid."Yang kuketahui hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah mereguk isi samudra luas yang tiada bertepi namun masih merasa haus dan dahaga".

Yahya bin Mu'adz menyurati lagi," Ada sebuah rahasia yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam surga. Di sana, di bawah naungan pohon Tuba akan kukatakan rahasia itu kepadamu".

Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti dengan pesan,"Syech harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya dari air zam-zam".

Di dalam jawabannya Abu Yazid berkata mengenai rahasia yang hendak disampaikan Yahya itu," Mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan, dengan hanya mengingatNya, pada saat ini juga aku dapat menikmati surga dan puhon Tuba. tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak dapat kunikmati. Engkau memang telah mengatakan air apa yang telah engkau pergunakan, tetapi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa yang telah engkau taburkan".

Maka Yahya bin Mu'adz ingin sekali mengunjungi Abu Yazid. Ia datang pada waktu sholat Isya'. Yahya berkisah sebagai berikut,:" Aku tidak mau mengganggu Syech Abu Yazid. Tetapi aku pun tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke suatu tempat di padang pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat itu seperti dikatakan orang-orang kepadaku. Sesampainya ditempat itu terlihat olehku Abu Yazid sedang sholat Isya'. Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya sampai keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini. Sepanjang malam kudengar Abu Yazid berkata di dalam do'anya.," Aku berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima kehormatan-kehormatan ini".

Setelah sadar, Yahya mengucapkan salam kepada Abu Yazid dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu Yazid menjawab," lebih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan kepadaku. Tetapi tak satupun yang kuinginkan karena semuanya adalah kehormatan-kehormatan yang membutakan mata".

"Guru, mengapakah engkau tidak meminta pengetahuan mistik, karena bukankah Dia Raja diantara raja yang pernah berkata,"Mintalah kepadaKu segala sesuatu yang engkau kehendaki?" Yahya bertanya."Diamlah!", sela Abu Yazid," Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenalNya, karena aku ingin tiada sesuatupun kecuali Dia yang mengenal diriNya. Mengenai pengetahuanNya, apakah peduliku. Sesungguhnya seperti itulah kehendakNya, Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal diriNya.

"Demi keagungan Alloh", Yahya bermohon,"berikanlah kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan kepadamu malam tadi".

"Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Alloh, kekudusan Isa, dan kecintaan Muhammad, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu", jawab Yazid." Tetaplah merenung Yang Maha Tingi dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu kepada sesuatu hal, maka hal itulah yang akan membutakan matamu"

Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir kepinggir untuk memberi jalan kepada binatang itu.

Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid ini dan berkata," Alloh Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhlukNya. Abu Yazid adalah "Raja diantara kaum mistik", tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu?"

Abu Yazid menjawab," Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku,'Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja diantara para mistik?'. Begitulah yang sampai dalam pikiranku dan karena itulah aku memberi jalan kepadanya".

Suatu ketika Abu yazid melakukan perjalanan menuju Ka'bah di Makkah, tetapi beberapa saat kemudian ia pun kembali lagi. "Di waktu yang sudah-sudah engkau tidak pernah membatalkan niatmu. Mengapa sekarang engkau berbuat demikian?", tanya seseorang kepaa Abu Yazid.

"baru saja aku palingkan wajahku ke jalan", jawab Abu Yazid,"terlihat olehku seorang hitam yang menghadang dengan pedang terhunus dan berkata,"Jika engkau kembali, selamat dan sejahtera-lah engkau. Jika tidak, akan kutebas kepalamu. Engkau telah meninggalkan Alloh di Bustham untuk pergi kerumahNya.

Hatim Tuli-salah seorang waliyulloh masa itu-, berkata kepada murid-muridnya," Barang siapa di antara kamu yang tidak memohon ampunan bagi penduduk neraka di hari berbangkit nanti, ia bukan muridku".

Perkataan Hatim ini disampaikan orang kepada Abu Yazid. kemudian Abu yazid menambahkan," Barang siapa yang berdiri di tebing neraka dan menangkap setiap orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, kemudian mengantarnya ke surga lalu kembali ke neraka sebagai pengganti mereka, ia adalah muridku".

ABU YAZID DAN SEORANG MURIDNYA

Ada seorang pertapa di antara tokoh-tokoh suci terkenal di Bustham. Ia mempunyai banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau.

Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid,"pada hari ini genaplah tigapuluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan do'a sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu".

"Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun, sedikitpun dari ceramah-ceramahku ini tidak akan dapat engkau hayati".

"Mengapa demikian?",tanya si murid.
"Karena matamu tertutup oleh dirimu sendiri", jawab Abu Yazid.
"Apakah yang harus kulakukan?",tanya si murid pula.
"Jika kukatakan, pasti engkau tidak mau menerimanya", jawab Abu Yazid.
"Akan kuterima!. Katakanlah kepadaku agar kulakukan seperti yang engkau petuahkan".
"Baiklah!", jawab Abu Yazid."Sekarang ini juga, cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan ini dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang dilehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan pada mereka,"Akan kuberikan sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku". Dengan cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat dimana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan".

"Maha besar Alloh!Tiada Tuhan kecuali Alloh", cetus simurid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu.
"Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim",kata Abu Yazid."Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Alloh".
"Mengapa begitu?",tanya si murid.
"Karena engkau merasa bahwa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah kukatakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang penting, dan bukan untuk memuliakan Alloh. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Alloh?".

"Saran-saranmu tadi tidak dapat kulaksanakan. Berikanlah saran-saran yang lain", si murid berkeberatan.
"Hanya itu yang dapat kusarankan",Abu Yazid menegaskan.
"Aku tak sanggup melaksanakannya", si murid mengulangi kata-katanya.
"Bukankah telah aku katakan bahwa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku",kata Abu Yazid.
(Duhai, sadarlah aku bahwa kesombongan dalam diriku begitu tebal, betapa pentingnya aku, betapa mulianya aku, betapa orang lain berada lebih rendah dari aku.....lihat nggantengku, lihat kekayaanku, lihat kepandaianku,...lihat kekuatanku....lihat kekuasaanku......! Besi mesti dipanasi untuk dijadikan pedang, besi mesti ditempa untuk dibuat menjadi tajam. Batu kotor mesti digosok supaya jadi berlian. "Gosoklah berlian imanmu dengan Laa illaha ilalloh". 'Jadidu Imanakum bi Laa illaha ilalloh' )

"Engkau dapat berjalan di atas air", orang-orang berkata kepada Abu Yazid. "Sepotong kayupun dapat melakukan hal itu", jawab Abu Yazid.

"Engkau dapat terbang di angkasa". "Seekor burung pun dapat melakukan itu"

"Engkau dapat pergi ke Ka'bah dalam satu malam". " Setiap orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam".

"Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati?", mereka bertanya kepada Abu Yazid. Abu Yazid menjawab,"Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada siapapun dan apapun kecuali kepada Alloh".

Abu Yazid ditanya orang,"Bagaimanakah engkau mencapai tingkat kesalehan yang seperti ini?"
. "Pada suatu malam ketika aku masih kecil,", jawab Abu Yazid,"aku keluar dari kota Bustham. Bulan bersinar terang dan bumi tertidur tenang. Tiba-tiba kulihat suatu kehadiran. Di sisinya ada delapan belas ribu dunia yang tampaknya sebagai sebuah debu belaka. hatiku bergetar kencang lalu aku hanyut dilanda gelombang ekstase yang dahsyat. Aku berseru "Ya Alloh, sebuah istana yang sedemikian besarnya tapi sedemikian kosongnya. Hasil karya yang sedemikian agung tapi begitu sepi? " Lalu terdengar olehku sebuah jawaban dari langit." Istana ini kosong bukan karena tak seorangpun memasukinya tetapi Kami tidak memperkenankan setiap orang untuk memasukinya. Tak seorang manusia yang tak mencuci muka-pun yang pantas menghuni istana ini".

"Maka aku lalu bertekat untuk mendo'akan semua manusia. Kemudian terpikirlah olehku bahwa yang berhak untuk menjadi penengah manusia adalah Muhammad SAW. Oleh karena itu aku hanya memperhatikan tingkah lakuku sendiri. Kemudian terdengarlah suara yang menyeruku.," Karena engkau berjaga-jaga untuk selalu bertingkah laku baik, maka Aku muliakan namamu sampai hari Berbangkit nanti dan ummat manusia akan menyebutmu

RAJA PARA MISTIK

Abu Yazid menyatakan," Sewaktu pertama kali memasuki Rumah Suci (Ka'bah), yang terlihat olehku hanya Rumah Suci itu. Ketika untuk kedua kalinya memasuki Rumah Suci itu, yang terlihat olehku adalah Pemilik Rumah Suci. Tetapi ketika untuk ketiga kalinya memasuki Rumah Suci, baik si Pemilik maupun Rumah Suci itu sendiri tidak terlihat olehku".

Sedemikian khusyuknya Abu Yazid dalam berbakti kepada Alloh, sehingga setiap hari apabila ditegur oleh muridnya, yang senantiasa menyertainya selama 20 tahun, ia akan bertanya," Anakku, siapakah namamu?" Suatu ketika si murid berkata pada Abu Yazid,"Guru, apakah engkau memperolok-olokkanku. Telah 20 tahun aku mengabdi kepadamu, tetapi, setiap hari engkau menanyakan namaku".

"Anakku",Abu Yazid menjawab,"aku tidak memperolok-olokkanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu terlupakan olehku"

Abu Yazid mengisahkan:

Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku adalah Syaikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke Khurazan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Alloh mengutus seseorang untuk membukakan diriku.

Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang ke-empat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dengan seksama, terlihat olehku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku.

"Sejauh ini engkau memanggilku", katanya," hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?"

"Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu,"Dari manakah engkau datang?"

"Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu mil yang kutempuh", kemudian ia menambahkan,"berhati-hatilah Abu Yazid, Jagalah hatimu!"

Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu.

MASA AKHIR

Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah tujuh puluh kali diterima Alloh ke hadhiratNya. Setiap kali kembali dari perjumpaan dengan Alloh itu, Abu Yazid mengenakan sebuah ikat pinggang yang lantas diputuskannya pula.

Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid memasuki tempat sholat dan mengenakan sebuah ikat pinggang. Mantel dan topinya yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara terbalik. Kemudian ia berkata kepada Alloh:

" Ya Alloh, aku tidak membanggakan disiplin diri yang telah kulaksanakan seumur hidupku, aku tidak membanggakan sholat yang telah kulakukan sepanjang malam. Aku tidak menyombongkan puasa yang telah kulakukan selama hidupku. Aku tidak menonjolkan telah berapa kali aku menamatkan Al Qur'an. Aku tidak akan mengatakan pengalaman-pengalaman spiritual khususku yang telah kualami, do'a- do'a yang telah kupanjatkan dan betapa akrab hubungan antara Engkau dan aku. Engkaupun mengetahui bahwa aku tidak menonjolkan segala sesuatu yang telah kulakukan itu.

Semua yang kukatakan ini bukanlah untuk membanggakan diri atau mengandalkannya. Semua ini kukatakan kepadaMu karena aku malu atas segala perbuatanku itu. Engkau telah melimpahkan rahmatMu sehingga aku dapat mengenal diriku sendiri. Semuanya tidak berarti, anggaplah itu tidak pernah terjadi. Aku adalah seorang Torkoman yang berusaha tujuh puluh tahun dengan rambut yang telah memutih di dalam kejahilan.

Dari padang pasir aku datang sambil berseru-seru,'Tangri-Tangri' Baru sekarang inilah aku dapat memutus ikat pinggang ini. Baru sekarang inilah aku dapat melangkah ke dalam lingkungan Islam. Baru sekarang inilah aku dapat menggerakkan lidahku untuk mengucapkan syahadat. Segala sesuatu yang Engkau perbuat adalah tanpa sebab. Engkau tidak menerima ummat manusia karena kepatuhan mereka dan Engkau tidak akan menolak mereka hanya karena keingkaran mereka. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepadaMu limpahkanlah ampunanMu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku karena akupun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhiMu.

Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Alloh pada tahun 261 H /874 M

READ MORE - ABU YAZID AL-BUSTHOMI

Syadziliah

Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.

Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.


Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.


Silsilah


Sanad dan Silsilah Tariqah


* As-Syaikh As-Sayyid Abil Hasan Asy-Syadzili ra drp

* As-Syaikh Abdus Salam b Mashish ra drp
* As-Syaikh Muhammad bin Harazim ra drp
* As-Syaikh Muhammad Salih ra drp
* As-Syaikh Shuaib Abu Madyan ra drp
* As-Syaikh As-Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani ra drp
* As-Syaikh Abu Said Al-Mubarak ra drp
* As-Syaikh Abul Hasan Al-Hukkari ra drp
* As-Syaikh At-Tartusi ra drp
* As-Syaikh Asy-Shibli ra drp
* As-Syaikh Sari As-Saqati ra drp
* As-Syaikh Ma'ruf Al-Kharkhi ra drp
* As-Syaikh Daud At-Tai ra drp
* As-Syaikh Habib Al-Ajami ra drp
* Imam Hasan Al-Basri ra drp
* Sayyidina Ali bin Abu Talib ra drp
* Sayyidina Muhammad saw


Sanad Nasab Abil Hasan Asy-Syadzili


* As-Sayyid Asy-Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzili bin

* Ali bin
* Abdullah bin
* Tamim bin
* Hurmuz bin
* Hatim bin
* Qusay bin
* Yusuf bin
* Yusya bin
* Ward bin
* Bathaal bin
* Ali bin
* Ahmad bin
* Muhammad bin
* Isa bin
* Muhammad bin
* Abi Muhammad bin
* Imam Hasan bin
* Sayyidna Ali ra dan Sayyidatina Fathimah binti
* Rasulullah Sayyidina Muhammad saw.

Wejangan Dasar


Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.


Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.


Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).


Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.


Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.


Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:


Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.


Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.


Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.


Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.


Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.


Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.


Perkembangan Tarekat


Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."


Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.


Demografik Para Pengikut


Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.


Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.


Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.


Amalan-Amalan


Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.


Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.


Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.


Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.


Pengaruh dan Cabang-Cabang Tarekat Syadziliyyah


Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.


Kata-Kata Hikmah


Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:


Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!


Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."


Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.


Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.


Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.


Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.


Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.
alexandrian is offline
READ MORE - Syadziliah