Banyak sekali kajian historis mengenai Tasawuf atau Sufi. Ada sejumlah pendekatan yang dilakukan untuk menganalisa lintasan sejarah Tasawuf atau Thariqat Tasawuf, antara lain:
1. Kajian terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang berkaitan dengan dimensi Sufistik.
2. Kajian terhadap profil para tokoh Sufi dengan pemikiran, pandangan, tindakan dan karya-karyanya.
3. Kajian filosufi dibalik ungkapan Sufistiknya.
4. Kajian praktek Sufistik dan Thariqatnya dari masa ke masa.
5. Kisah-kisah Sufi.
Sebagaimana diketahui Islam lahir dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. dengan doktrin-doktrin keagamaan, bersifat eksoteris dan esoteris, atau bersifat lahiriyah maupun batiniyah. Kedua doktrin tersebut bermuara pada satu titik, yang disebut dengan Titik Tauhid. Yaitu meng-Esakan Allah swt. baik dalam keyakinan maupun amaliyah ummat manusia. Oleh sebab itu, kelak akan muncul sejumlah istilah atau terminologi dalam ilmu-ilmu Islam sebagai pendekatan lain dari pemahaman amaliyah Islam itu sendiri.
Unsur-unsur Tauhid (theology) dalam tradisi historis Islam, lebih banyak responsinya ketika Rasulullah Muhammad saw, berada di Makkah, baru ketika hijrah ke Madinah sejumlah doktrin tentang amaliyah yang kelak disebut dengan doktrin Syari’at diturunkan. Lebih jauh tentang kajian historis responsi doktrin keagamaan antara periode Makkah dan Madinah ini, bisa dilihat dari beberapa kitab tentang Asbabun Nuzul, yaitu kajian tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an, dan Asbabul Wurud, berkait dengan sebab-sebab munculnya hadits Nabi saw.
Sementara itu, fungsi-fungsi hadits Nabi antara lain menjelaskan praktek Al-Qur’an, -- dan karenanya kedudukan Hadits juga setara dengan Wahyu – lebih banyak memberikan petunjuk yang bersifat historis, yaitu kepentingan-kepentingan zaman saat itu, walaupun, kedua sumber agama itu tetap bersifat universal dan a historis. Apalagi ketika, sumber-sumber tersebut dibuat telaah seputar dunia esoteris, maka fungsi-fungsi historis hanya sebagai pelengkap belaka, selebihnya justru elemen-elemen fundamental akan muncul sebagai landasan pandangannya.
Seluruh ummat Islam pada periode Rasulullah saw, baik ketika di Makkah maupun di Madinah, sama sekali tidak memunculkan potensi-potensi konflik, apalagi muncul suatu kontradiksi , baik dari segi pemahaman keagamaan maupun raktek keagamaan, bahkan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Hal demikian karena ummat Islam terikat suatu kesepakatan terhadap kedua sumber utama praktek ibadah mereka, sementara Rasul Muhammad saw, menjadi rujukan utama setiap masalah, sekaligus menjadi hakim atas semua persoalan yang muncul.
Tetapi perbedaan mulai muncul, terutama dalam soal pandangan yang bersifat publik, yaitu mengenai Khilafah paska Rasulullah saw, sepeninggal beliau. Perbedaan pandangan ini memuncak ketika periode Khalifah Utsman bin Affan – ra, dan Ali bin Abi Thalib – semoga Allah memuliakan wajahnya --. Kelak perbedaan ini turut mewarnai munculnya faksi-faksi dalam praktek Islam, dan turut memberikan warna terhadap sejarah perkembangan Tasawuf itu sendiri, yang beriringan dengan dinamika sejarah Teologi dan mazhab-mazhab fiqih.
Istilah-istilah yang menjadi terminologi dalam Tasawuf, juga tidak pernah terekam, secara akademis dalam sejarah periode Islam awal. Bahkan di zaman Nabi kata Sufi, kata Syari’at, Hakikat, atau pun Thariqat, tidak dimunculkan sebagai istilah tersendiri dalam praktek keagamaan. Semata, karena para Sahabat dan Tabi’in, adalah sekaligus para pelaku Syari’at, Thariqat dan Hakikat, dalam kesehariannya. Hanya satu setengah abad kemudian, istilah-istilah itu muncul dengan terminologi tersendiri, dalam kerangka memudahkan praktek ke-Islaman yang sebenarnya.
Untuk melihat sejarah Tasawuf, definisi seputar Tasawuf dari para pelaku serta tokoh-tokohnya sangat membantu alur hitoris itu hingga dewasa ini. Pada zaman Nabi saw. kita mengenal istilah yang sangat komprehensif mengenai dunia esoteris, yang disebut dengan Al-Ihsan. Dalam riwayat Al-Bukhari, disebutkan oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya:
“Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seaakan-akan engkau melihatNya, maka apabila engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.r. Bukhari)
Istilah Al-Ihsan tersebut, dalam prakteknya, memunculkan tradisi agung dalam Islam, yaitu amaliyah batin yang kekal membangunkan suatu akademi esoteris yang luar biasa. “Seakan-akan melihat Allah dan Allah melihatnya,” adalah puncak dari prestasi moral seorang hamba Allah disaat sang hamba berhubungan denganNya.
Proses-proses berhubungan itulah yang kemudian diatur dalam praktek Tasawuf. Karena dalam setiap tradisi Thariqat Tasawuf yang memiliki sanad sampai kepada Rasulullah saw. – kelak disebut dengan Thariqat Mu’tabarah – menunjukkan bahwa tradisi Sufistik sudah berlangsung sejak zaman Rasulullah saw. Hanya saja tradisi tersebut tidak terpublikasi secara massif mengingat dunia esoteris adalah dunia spesifik, dimana tidak semua khalayak menerimanya.
Doktrin-doktrin Dzikir dan pelaksanaannya yang dilakukan melalui Baiat pada Rasulullah saw. menggambarkan hubungan-hubungan psikhologis antara Rasul saw. ketika itu dengan sahabat dan Allah swt.
Di lain pihak, tradisi akademi Tasawuf nantinya melahirkan produk-produk penafsiran esoterik atau metafisik, terhadap khazanah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Selain Al-Qur’an secara khusus punya penekanan terhadap soal-soal Tasawuf, ternyata seluruh kandungan Al-Qu’ran juga mengandung dimensi batin yang sangat unik. Jadi tidak ada alasan sama sekali untuk menolak Tasawuf, hanya karena beralasan bahwa Tasawuf tidak ada dalam Al-Qur’an. Padahal seluruh kandungan Al-Qur’an tersebut mengandung dua hal: dzahir dan batin, syari’at dan hakikat.
Prof. Dr. Said Aqiel Siradj mencatat bahwa istilah Tasawuf, kebanyakan refrensi menyebutkan muncul dari Ma’rif al-Karkhy (w. 200). Namun Said Aqil cenderung berpihak pada Abu Abdillah (Abu Musa) Jabir bin Hayyan bin Abdillah al-Kufi al-Azdy (w. 161 H.) salah satu murid dari Ja’far ash-Shadiq yang terkenal dengan temuannya, Aljabar. Jabir bin Hayyan inilah yag pertama kali mendapat gelar sebagai Sufi, karena sebagai seorang ilmuwan matematik dan kimia, Jabir justru memasuki dunia Sufi dengan segala penemuannya.
Kesadaran Jabir bin Hayyan memasuki dunia Sufi bermula dari aksioma Dhomir (kata ganti): Ana (aku, orang pertama), Huwa (dia, orang ketiga) dan Anta (kamu, orang kedua). Ketiga kata ganti tersebut bisa melekat pada satu orang, semisal Ahmad. Ketika ia menyebut dirinya pasti menggunakan kata ganti Ana, jika ia tidak ada ditempat maka ia disebut dengan Dia, sementara ketika ia ada di hadapan Anda, maka Anda menyebutnya Anta. Lalau kemana larinya Ana, Anta, Huwa, setelah Ahmad meninggal dunia? Jabir menyimpulkan bahwa semua dlomir yang yang disandang itu kembali kepada Yang berhak mempunyai Ana, Anta dan Huwa, yaitu Allah swt.
Baru pada abad ketiga hijriyah dinamika tasawuf baru pada taraf Tasawuf Sunni (akhlaqy). Baru kemudian menurut Said Aqil, berkembang Tasawuf Falsafi sebagaimana digaungkan oleh Abu Yazid al-Bistamy (w.261H.), disusul Abu Mansur Al-Hallaj (w.309) masing-masing dengan teori Al-fana’ dan Anal Haq. Dua abad berikutnya muncullah as-Suhrawardi al-Maqtul dengan pandangan Isyraqynya, disusul Muhammad bin Abu Bakr Ibrahim bin Abi Ya’kub Ishak al-Aththar (w. 621 H), memperkenalkan teori Al-Ittihad. Hampir bisa diskatakan bahwa puncak prestasi dari Tasawuf falsafy itu pada Ibnu Araby.
Abdurrahman as-Sulamy (W. 412 H) dalam kitabnya Thabaqatus Shufiyah, membagi generasi Sufi menjadi lima periode hingga peridodenya. Kitab Thabaqatus Shufiyah tersebut sangat berperan besar dalam menyatukan visi besar kaum Shui, mengingat ucapan-ucapan para tokoh Shufi dikutip di sana, bahkan dengan sejumlah landasan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebelumnya Ulama dan Sufi besar ini menulis buku yang cukup bagus pula, Tarikhus Shufiyah. Sebelumnya para Ulama Shufi juga menulis, walaupun tidak sekomprehensif As-Sulamy, beberapa kitab tentang sejarah dan biografi para Sufi. Antara lain:
Thabaqatun Nusaak, karya Abu Sa’id Ibnul A’raby (W. 341 H) yang sering dibuat refrensi utama oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’.
Akhbarush-Shufiyah waz-Zuhad, tulisan Muhammad bin Dawud bin Sulaiman, yang populer dengan Abu Bakr an-Naysabury (W. 342 H.)
Tarikhush-Shufiyah , karya Ahmad bin Muhammad bin Zakaria an-Nasawy az-Zahid (W. 396 H).
As-Sulamy dalam Thabaqat, merinci sejumlah nama besar dari seluruh periode itu, dengan lima generasi. Generasi ini menurut As-Sulamy adalah generasi terbaik, yang meletakkan dasar-dasar utama Sufi, dan masuk dalam katergori sabda Rasulullah saw:
“Sebaik-baik ummat manusia adalah generasi abadku, kemudian generasi abad yang berikutnya, lalu generasi abad berikutnya…” (H.r. Bukhari)
Generasi inilah yang juga pernah diprediksi oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya: “Ummatku senantiasa ada empat puluh orang, berperilaku dengan budi pekeri Ibrahim Al-Khalil Alaihissalam, manakala ada suatu perkara datang, mereka diserahi.”
Generasi pertama sampai generasi kelima, berjumlah 100 tokoh Sufi, masing-masing generasi terdiri 20 tokoh:
Generasi pertama :
Al-Fudhail bin ‘Iyadh; Dzun Nuun al-Mishry; Ibrahim bin Adham; Bisyr Al-Hafy; Sary as-Saqathy; Al-Harits al-Muhasiby; Syaqiq al-Balkhy; Abu Yazid al-Bisthamy; Abu Sulaiman ad-Darany; Ma’ruf Al-Karkhy; Hatim al-Asham; Ahmad bin Abil Hawary; Ahmad bin Hadhrawiyah; Yahya bin Mu’adz ar-Razy; Abu Hafsh an-Naysabury; Hamdun al-Qashshar; Manshur bin Ammar; Ahmad bin Ashim al-Anthaky; Abdullah bin Khubaiq al-Anthaky dan Abu Turab an-Nakhsyaby.
Generasi Kedua :
Abul Qasim al-Junaid; Abul Husayn an-Nuury; Abu Utsman al-Hiry an-Naysabury; Abu Abdullah ibnul Jalla’; Ruwaim bin Ahmad al-Baghdady; Yusuf bin ibnul Husain ar-Razy; Syah al-Kirmany; Samnun bin Hamzah al-Muhibb; Amr bin Utsman al-Makky; Sahl bin Abdullah at-Tustary; Muhammad bin Fadhl al-Balkhy; Muhammad bin Ali at-Turmudzy; Abu Bakr al-Warraq; Abu Sa’id al-Kharraz; Ali bin Sahl al-Asbahany; Abul Abbas bin Masruq ath-Thusy; Abu Abdullah al-Maghriby; Abu Ali az-Juzajany; Muhammad dan Ahmad, keduanya putra Abul Ward; Abu Abdullah As-Sijzy.
Generasi Ketiga :
Abu Muhammad al-Jurairy; Abul Abbas bin Atha’ al-Adamy; Mahfud bin Mahmud an-Naisabury; Thahir al-Muqaddasy; Abu Amr ad-Dimasyqy; Abu Bakr bin Hamid At-Turmudzy; Abu Ishaq Ibrahim al-Khawash; Abdullah bin Muhammad al-Kharraz ar-Razy; Bunan bin Muhammad al-Jamal; Abu Hamzah al-Baghdady al-Bazzaz; Abul Husayn al-Warraq an-Naisabury; Abu Bakr Al-Wasithy; Al-Husayn bin Mashur al-Hallaj; Abul Husayn bina s-Shaigh ad-Dainury; Mumsyadz ad-Dinawary; Ibrahim al-Qashshar; Khairun Nasaj; Abu Hamzah al-Khurasany; Abu Abdullah ash-Shubaihy; Abu Ja’far bin Sinan.
Generasi Keempat :
Abu Bakr asy-Syibly; Abu Muhammad al-Murtaisy; Abu Ali ar-Rudzbary; Abu Ali Ats-Tsaqafy; Abdullah bin Muhammad bin Manazil; Abul Khair al-Aqtha’ at-Tinaty; Abu Bakr al-Kattany; Abu Ya’qub an-Nahrajury; Abul Hasan al-Muzayyin; Abu Ali ibnul Katib; Abul Husayn bin Banan; Abu Bakr bin Thohir al-Abhury; Mudzaffar al-Qurmisainy; Abu Bakr bin Yazdaniyar; Abu Ishaq Ibrahim ibnul Maulid; Abu Abdullah bin Salim al-Bashry; Muhammad bin Alyan an-Nasawy; Abu Bakr bin Abi Sa’dan.
Generasi Kelima :
Abu Sa’id ibnul A’raby; Abu Amr az-Zujajy; Ja’far bin Muhammad al-Khuldy; Abul Abbas al-Qasim as-Sayyary; Abu Bakr Muhammad bin Dawud ad-Duqqy; Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad asy-Sya’’any; Abu Amr Ismail bin Nujaid; Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Busyanjy; Abu Abdullah Muhammad bin Khafif; Bundar ibnul Husayn as-Syirazy; Abu Bakr ath-Thimistany; Abul Abbas Ahmad bin Muhammad ad-Dainury; Abu Utsman Said bin Salam al-Maghriby; Abul Qasim Ibrahim bin Muhammad an-Nashruabadzy; Abul Hasan Ali bin Ibrahim al-Hushry; Abu Abdullah at-Targhundy; Abu Abdullah ar-Rudzbary; Abul Hasan Ali bin Bundar ash-Shairafy; Abu Bakr Muhammad bin Ahmad asy-Syabahy; Abu Bakr Muhammad bin Ahmad al-Farra’; Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Muqry’ dan Abul Qasim Ja’far bin Ahmad al-Muqri’; Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad ar-Rasy; Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Khaliq ad-Dinawary.
Setelah periode As-Sulamy muncul beberapa Sufi seperti Abul Qasim al-Qusyairy, disusul prestasi puncak pada Abu Hamid Al-Ghazali ( yang bergelar Hujjatul Islam), kemudian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Ibul Araby, dan Sultanul Auliya Syeikh Abul Hasan- Asyadzily.
Dari seluruh tokoh sufi di atas, melahirkan banyak mazhab Tasawuf yang kelak muncul dalam ordo-ordo Thariqat. Semula arti Thariqat itu sendiri adalah metode atau sistem. Berikutnya Thariqat melibatkan komunitas sufistik yang tergabung dalam ordo tersebut, sehingga menjadi semacam organisasi spiritual Islam.
1. Kajian terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang berkaitan dengan dimensi Sufistik.
2. Kajian terhadap profil para tokoh Sufi dengan pemikiran, pandangan, tindakan dan karya-karyanya.
3. Kajian filosufi dibalik ungkapan Sufistiknya.
4. Kajian praktek Sufistik dan Thariqatnya dari masa ke masa.
5. Kisah-kisah Sufi.
Sebagaimana diketahui Islam lahir dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. dengan doktrin-doktrin keagamaan, bersifat eksoteris dan esoteris, atau bersifat lahiriyah maupun batiniyah. Kedua doktrin tersebut bermuara pada satu titik, yang disebut dengan Titik Tauhid. Yaitu meng-Esakan Allah swt. baik dalam keyakinan maupun amaliyah ummat manusia. Oleh sebab itu, kelak akan muncul sejumlah istilah atau terminologi dalam ilmu-ilmu Islam sebagai pendekatan lain dari pemahaman amaliyah Islam itu sendiri.
Unsur-unsur Tauhid (theology) dalam tradisi historis Islam, lebih banyak responsinya ketika Rasulullah Muhammad saw, berada di Makkah, baru ketika hijrah ke Madinah sejumlah doktrin tentang amaliyah yang kelak disebut dengan doktrin Syari’at diturunkan. Lebih jauh tentang kajian historis responsi doktrin keagamaan antara periode Makkah dan Madinah ini, bisa dilihat dari beberapa kitab tentang Asbabun Nuzul, yaitu kajian tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an, dan Asbabul Wurud, berkait dengan sebab-sebab munculnya hadits Nabi saw.
Sementara itu, fungsi-fungsi hadits Nabi antara lain menjelaskan praktek Al-Qur’an, -- dan karenanya kedudukan Hadits juga setara dengan Wahyu – lebih banyak memberikan petunjuk yang bersifat historis, yaitu kepentingan-kepentingan zaman saat itu, walaupun, kedua sumber agama itu tetap bersifat universal dan a historis. Apalagi ketika, sumber-sumber tersebut dibuat telaah seputar dunia esoteris, maka fungsi-fungsi historis hanya sebagai pelengkap belaka, selebihnya justru elemen-elemen fundamental akan muncul sebagai landasan pandangannya.
Seluruh ummat Islam pada periode Rasulullah saw, baik ketika di Makkah maupun di Madinah, sama sekali tidak memunculkan potensi-potensi konflik, apalagi muncul suatu kontradiksi , baik dari segi pemahaman keagamaan maupun raktek keagamaan, bahkan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Hal demikian karena ummat Islam terikat suatu kesepakatan terhadap kedua sumber utama praktek ibadah mereka, sementara Rasul Muhammad saw, menjadi rujukan utama setiap masalah, sekaligus menjadi hakim atas semua persoalan yang muncul.
Tetapi perbedaan mulai muncul, terutama dalam soal pandangan yang bersifat publik, yaitu mengenai Khilafah paska Rasulullah saw, sepeninggal beliau. Perbedaan pandangan ini memuncak ketika periode Khalifah Utsman bin Affan – ra, dan Ali bin Abi Thalib – semoga Allah memuliakan wajahnya --. Kelak perbedaan ini turut mewarnai munculnya faksi-faksi dalam praktek Islam, dan turut memberikan warna terhadap sejarah perkembangan Tasawuf itu sendiri, yang beriringan dengan dinamika sejarah Teologi dan mazhab-mazhab fiqih.
Istilah-istilah yang menjadi terminologi dalam Tasawuf, juga tidak pernah terekam, secara akademis dalam sejarah periode Islam awal. Bahkan di zaman Nabi kata Sufi, kata Syari’at, Hakikat, atau pun Thariqat, tidak dimunculkan sebagai istilah tersendiri dalam praktek keagamaan. Semata, karena para Sahabat dan Tabi’in, adalah sekaligus para pelaku Syari’at, Thariqat dan Hakikat, dalam kesehariannya. Hanya satu setengah abad kemudian, istilah-istilah itu muncul dengan terminologi tersendiri, dalam kerangka memudahkan praktek ke-Islaman yang sebenarnya.
Untuk melihat sejarah Tasawuf, definisi seputar Tasawuf dari para pelaku serta tokoh-tokohnya sangat membantu alur hitoris itu hingga dewasa ini. Pada zaman Nabi saw. kita mengenal istilah yang sangat komprehensif mengenai dunia esoteris, yang disebut dengan Al-Ihsan. Dalam riwayat Al-Bukhari, disebutkan oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya:
“Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seaakan-akan engkau melihatNya, maka apabila engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.r. Bukhari)
Istilah Al-Ihsan tersebut, dalam prakteknya, memunculkan tradisi agung dalam Islam, yaitu amaliyah batin yang kekal membangunkan suatu akademi esoteris yang luar biasa. “Seakan-akan melihat Allah dan Allah melihatnya,” adalah puncak dari prestasi moral seorang hamba Allah disaat sang hamba berhubungan denganNya.
Proses-proses berhubungan itulah yang kemudian diatur dalam praktek Tasawuf. Karena dalam setiap tradisi Thariqat Tasawuf yang memiliki sanad sampai kepada Rasulullah saw. – kelak disebut dengan Thariqat Mu’tabarah – menunjukkan bahwa tradisi Sufistik sudah berlangsung sejak zaman Rasulullah saw. Hanya saja tradisi tersebut tidak terpublikasi secara massif mengingat dunia esoteris adalah dunia spesifik, dimana tidak semua khalayak menerimanya.
Doktrin-doktrin Dzikir dan pelaksanaannya yang dilakukan melalui Baiat pada Rasulullah saw. menggambarkan hubungan-hubungan psikhologis antara Rasul saw. ketika itu dengan sahabat dan Allah swt.
Di lain pihak, tradisi akademi Tasawuf nantinya melahirkan produk-produk penafsiran esoterik atau metafisik, terhadap khazanah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Selain Al-Qur’an secara khusus punya penekanan terhadap soal-soal Tasawuf, ternyata seluruh kandungan Al-Qu’ran juga mengandung dimensi batin yang sangat unik. Jadi tidak ada alasan sama sekali untuk menolak Tasawuf, hanya karena beralasan bahwa Tasawuf tidak ada dalam Al-Qur’an. Padahal seluruh kandungan Al-Qur’an tersebut mengandung dua hal: dzahir dan batin, syari’at dan hakikat.
Prof. Dr. Said Aqiel Siradj mencatat bahwa istilah Tasawuf, kebanyakan refrensi menyebutkan muncul dari Ma’rif al-Karkhy (w. 200). Namun Said Aqil cenderung berpihak pada Abu Abdillah (Abu Musa) Jabir bin Hayyan bin Abdillah al-Kufi al-Azdy (w. 161 H.) salah satu murid dari Ja’far ash-Shadiq yang terkenal dengan temuannya, Aljabar. Jabir bin Hayyan inilah yag pertama kali mendapat gelar sebagai Sufi, karena sebagai seorang ilmuwan matematik dan kimia, Jabir justru memasuki dunia Sufi dengan segala penemuannya.
Kesadaran Jabir bin Hayyan memasuki dunia Sufi bermula dari aksioma Dhomir (kata ganti): Ana (aku, orang pertama), Huwa (dia, orang ketiga) dan Anta (kamu, orang kedua). Ketiga kata ganti tersebut bisa melekat pada satu orang, semisal Ahmad. Ketika ia menyebut dirinya pasti menggunakan kata ganti Ana, jika ia tidak ada ditempat maka ia disebut dengan Dia, sementara ketika ia ada di hadapan Anda, maka Anda menyebutnya Anta. Lalau kemana larinya Ana, Anta, Huwa, setelah Ahmad meninggal dunia? Jabir menyimpulkan bahwa semua dlomir yang yang disandang itu kembali kepada Yang berhak mempunyai Ana, Anta dan Huwa, yaitu Allah swt.
Baru pada abad ketiga hijriyah dinamika tasawuf baru pada taraf Tasawuf Sunni (akhlaqy). Baru kemudian menurut Said Aqil, berkembang Tasawuf Falsafi sebagaimana digaungkan oleh Abu Yazid al-Bistamy (w.261H.), disusul Abu Mansur Al-Hallaj (w.309) masing-masing dengan teori Al-fana’ dan Anal Haq. Dua abad berikutnya muncullah as-Suhrawardi al-Maqtul dengan pandangan Isyraqynya, disusul Muhammad bin Abu Bakr Ibrahim bin Abi Ya’kub Ishak al-Aththar (w. 621 H), memperkenalkan teori Al-Ittihad. Hampir bisa diskatakan bahwa puncak prestasi dari Tasawuf falsafy itu pada Ibnu Araby.
Abdurrahman as-Sulamy (W. 412 H) dalam kitabnya Thabaqatus Shufiyah, membagi generasi Sufi menjadi lima periode hingga peridodenya. Kitab Thabaqatus Shufiyah tersebut sangat berperan besar dalam menyatukan visi besar kaum Shui, mengingat ucapan-ucapan para tokoh Shufi dikutip di sana, bahkan dengan sejumlah landasan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebelumnya Ulama dan Sufi besar ini menulis buku yang cukup bagus pula, Tarikhus Shufiyah. Sebelumnya para Ulama Shufi juga menulis, walaupun tidak sekomprehensif As-Sulamy, beberapa kitab tentang sejarah dan biografi para Sufi. Antara lain:
Thabaqatun Nusaak, karya Abu Sa’id Ibnul A’raby (W. 341 H) yang sering dibuat refrensi utama oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’.
Akhbarush-Shufiyah waz-Zuhad, tulisan Muhammad bin Dawud bin Sulaiman, yang populer dengan Abu Bakr an-Naysabury (W. 342 H.)
Tarikhush-Shufiyah , karya Ahmad bin Muhammad bin Zakaria an-Nasawy az-Zahid (W. 396 H).
As-Sulamy dalam Thabaqat, merinci sejumlah nama besar dari seluruh periode itu, dengan lima generasi. Generasi ini menurut As-Sulamy adalah generasi terbaik, yang meletakkan dasar-dasar utama Sufi, dan masuk dalam katergori sabda Rasulullah saw:
“Sebaik-baik ummat manusia adalah generasi abadku, kemudian generasi abad yang berikutnya, lalu generasi abad berikutnya…” (H.r. Bukhari)
Generasi inilah yang juga pernah diprediksi oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya: “Ummatku senantiasa ada empat puluh orang, berperilaku dengan budi pekeri Ibrahim Al-Khalil Alaihissalam, manakala ada suatu perkara datang, mereka diserahi.”
Generasi pertama sampai generasi kelima, berjumlah 100 tokoh Sufi, masing-masing generasi terdiri 20 tokoh:
Generasi pertama :
Al-Fudhail bin ‘Iyadh; Dzun Nuun al-Mishry; Ibrahim bin Adham; Bisyr Al-Hafy; Sary as-Saqathy; Al-Harits al-Muhasiby; Syaqiq al-Balkhy; Abu Yazid al-Bisthamy; Abu Sulaiman ad-Darany; Ma’ruf Al-Karkhy; Hatim al-Asham; Ahmad bin Abil Hawary; Ahmad bin Hadhrawiyah; Yahya bin Mu’adz ar-Razy; Abu Hafsh an-Naysabury; Hamdun al-Qashshar; Manshur bin Ammar; Ahmad bin Ashim al-Anthaky; Abdullah bin Khubaiq al-Anthaky dan Abu Turab an-Nakhsyaby.
Generasi Kedua :
Abul Qasim al-Junaid; Abul Husayn an-Nuury; Abu Utsman al-Hiry an-Naysabury; Abu Abdullah ibnul Jalla’; Ruwaim bin Ahmad al-Baghdady; Yusuf bin ibnul Husain ar-Razy; Syah al-Kirmany; Samnun bin Hamzah al-Muhibb; Amr bin Utsman al-Makky; Sahl bin Abdullah at-Tustary; Muhammad bin Fadhl al-Balkhy; Muhammad bin Ali at-Turmudzy; Abu Bakr al-Warraq; Abu Sa’id al-Kharraz; Ali bin Sahl al-Asbahany; Abul Abbas bin Masruq ath-Thusy; Abu Abdullah al-Maghriby; Abu Ali az-Juzajany; Muhammad dan Ahmad, keduanya putra Abul Ward; Abu Abdullah As-Sijzy.
Generasi Ketiga :
Abu Muhammad al-Jurairy; Abul Abbas bin Atha’ al-Adamy; Mahfud bin Mahmud an-Naisabury; Thahir al-Muqaddasy; Abu Amr ad-Dimasyqy; Abu Bakr bin Hamid At-Turmudzy; Abu Ishaq Ibrahim al-Khawash; Abdullah bin Muhammad al-Kharraz ar-Razy; Bunan bin Muhammad al-Jamal; Abu Hamzah al-Baghdady al-Bazzaz; Abul Husayn al-Warraq an-Naisabury; Abu Bakr Al-Wasithy; Al-Husayn bin Mashur al-Hallaj; Abul Husayn bina s-Shaigh ad-Dainury; Mumsyadz ad-Dinawary; Ibrahim al-Qashshar; Khairun Nasaj; Abu Hamzah al-Khurasany; Abu Abdullah ash-Shubaihy; Abu Ja’far bin Sinan.
Generasi Keempat :
Abu Bakr asy-Syibly; Abu Muhammad al-Murtaisy; Abu Ali ar-Rudzbary; Abu Ali Ats-Tsaqafy; Abdullah bin Muhammad bin Manazil; Abul Khair al-Aqtha’ at-Tinaty; Abu Bakr al-Kattany; Abu Ya’qub an-Nahrajury; Abul Hasan al-Muzayyin; Abu Ali ibnul Katib; Abul Husayn bin Banan; Abu Bakr bin Thohir al-Abhury; Mudzaffar al-Qurmisainy; Abu Bakr bin Yazdaniyar; Abu Ishaq Ibrahim ibnul Maulid; Abu Abdullah bin Salim al-Bashry; Muhammad bin Alyan an-Nasawy; Abu Bakr bin Abi Sa’dan.
Generasi Kelima :
Abu Sa’id ibnul A’raby; Abu Amr az-Zujajy; Ja’far bin Muhammad al-Khuldy; Abul Abbas al-Qasim as-Sayyary; Abu Bakr Muhammad bin Dawud ad-Duqqy; Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad asy-Sya’’any; Abu Amr Ismail bin Nujaid; Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Busyanjy; Abu Abdullah Muhammad bin Khafif; Bundar ibnul Husayn as-Syirazy; Abu Bakr ath-Thimistany; Abul Abbas Ahmad bin Muhammad ad-Dainury; Abu Utsman Said bin Salam al-Maghriby; Abul Qasim Ibrahim bin Muhammad an-Nashruabadzy; Abul Hasan Ali bin Ibrahim al-Hushry; Abu Abdullah at-Targhundy; Abu Abdullah ar-Rudzbary; Abul Hasan Ali bin Bundar ash-Shairafy; Abu Bakr Muhammad bin Ahmad asy-Syabahy; Abu Bakr Muhammad bin Ahmad al-Farra’; Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Muqry’ dan Abul Qasim Ja’far bin Ahmad al-Muqri’; Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad ar-Rasy; Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Khaliq ad-Dinawary.
Setelah periode As-Sulamy muncul beberapa Sufi seperti Abul Qasim al-Qusyairy, disusul prestasi puncak pada Abu Hamid Al-Ghazali ( yang bergelar Hujjatul Islam), kemudian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Ibul Araby, dan Sultanul Auliya Syeikh Abul Hasan- Asyadzily.
Dari seluruh tokoh sufi di atas, melahirkan banyak mazhab Tasawuf yang kelak muncul dalam ordo-ordo Thariqat. Semula arti Thariqat itu sendiri adalah metode atau sistem. Berikutnya Thariqat melibatkan komunitas sufistik yang tergabung dalam ordo tersebut, sehingga menjadi semacam organisasi spiritual Islam.
No comments:
Post a Comment