Sunday, October 25, 2009

Tari Darwis Ekstase Cinta Kaum Sufi

Jangan heran jika Anda menyaksikan orang sedang berputar lama, tapi tetap bertumpu pada satu titik. Mereka tak ubahnya seperti gangsingan putar, yang berbentuk besar. Kondisi tubuh tak limbung sedikit pun. Keseimbangan badan tampak tetap terjaga hingga selesai. Mereka bisa menghabiskan waktu lebih dari 45 menit untuk berputar. Mereka ternyata sedang mengitari alam pikiran sendiri. Jangan heran pula, jika ia ternyata sedang mencapai ekstase, yaitu semacam kondisi mabuk berat atau tidak sadarkan diri. Mereka tak menyadari di sekelilingnya. Mereka asyik sendiri. Bisa jadi, kondisi ekstase ini melebihi orang mabuk karena arak. Pasalnya, mereka mencoba menghilangkan alam nyata dari pikiran, dan hanya satu yang diingat,
Hu Allah… Hu Allah… Hu Allah. Mereka ini tak lain adalah penari darwis. Tarian ini disebut juga dengan istilah Semazen atau Sema. Di dunia Barat, penari seperti ini disebut The Whirling Dervishes, yaitu para darwis yang berputar-putar; atau whirling dance, yaitu tarian berputar-putar.

Mereka mengenakan peci tinggi dan jubah yang longgar. Peci tinggi menandakan simbol pusara bagi ego individu atau nafsu rendah yang ada pada setiap manusia. Sebelum berputar, kedua tangan disimpan menyilang di atas dada sebagai simbol keesaan atau tauhid. Tauhid adalah sumber segala kebahagiaan. Saat berputar, kedua tangan direntangkan. Yang kanan menengadah ke atas, yaitu simbolisasi penghambaan dan kesiapan menerima atas segala anugrah yang datang dari langit (atau Tuhan), sementara tangan kiri menghadap ke bawah, beralih dari kanan ke kiri melalui jantung hidupnya. Ini simbolisasi cara meneruskan nikmat spiritual dari Tuhan kepada manusia lain melalui mata hati (‘ain al-qalb). Si penari cenderung merasakan cinta yang membara. Dengan segala kasih sayang dan cintanya, ia akan memiliki jiwa yang lembut dan menafikan segala kebencian yang bersemayam dalam hati. Mereka memang tak ubahnya gangsingan yang menjelma menjadi sebuah jalan untuk berjumpa dengan Tuhan. Meditasi Seorang Sufi Tari darwis merupakan sarana untuk memasuki alam meditasi. Tarian kaum sufi ini merupakan sarana untuk memperhalus perasaan si penari itu sendiri.

Tarian ini terinspirasi oleh gerakan tarian Jalaluddin Rumi (1207-1273), seorang sufi sekaligus penyair besar Islam. Jalaluddin Rumi adalah tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Keberadaan tarian ini tak terlepas dari sosok ini, yaitu mistikus Islam yang lahir di Balkh, kini wilayah Afganistan. Tarian itu merupakan ekspresi kesedihan Rumi atas meninggalnya Syamsuddin Tabriz, yang tak lain adalah guru spiritualnya. Rumi kemudian dikenal sebagai guru nomor satu tarekat Maulawiah, yaitu sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan kini masih berkembang di sana. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648. Karena penganut tarekat sufi menari dengan berputar-putar sambil berzikir untuk mencapai ekstase, yang diiringi dengan gendang dan suling, maka kalangan Barat menyebut tarekat ini dengan The Whirling Dervishes. Menurut Rumi, dalam diri manusia ada potensi atau hanif yang jika diberdayakan dengan benar dapat membahagiakan. Potensi itu disebut Cinta Ilahi, yakni jalan cinta kepada Yang Mahabenar. Cinta adalah energi penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Cinta adalah sarana utama untuk transendensi diri atau pembersihan diri (tazkiyatu nafs). Orang yang menari seperti ini akan memiliki jiwa yang lembut dan menafikan segala kebencian yang bersemayam dalam hati. Pertanyaannya, kenapa kita harus berputar-putar? Di dunia ini, kata Rumi, tak ada benda yang tak berputar, dari benda angkasa yang besar sampai elektron, proton, dan neutron dalam atom yang merupakan partikel terkecil yang menyusun semua benda dan makhluk hidup. Dalam tubuh manusia juga ada perputaran aliran darah. Kejadian manusia pun berputar, tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah. Air berasal dari laut, naik ke atas menjadi awan, turun sebagai hujan, dan kembali ke laut. Manusia pun berasal dari Tuhan, dan akan kembali kepada-Nya.

Ibadah haji, khususnya fenomena thawaf sesungguhnya simbolisasi dari perputaran benda angkasa dan perputaran manusia itu sendiri. Tari ini mengajak orang untuk menyatukan akal dan cinta untuk larut dalam perputaran kehidupan sebagai bukti pencarian dan penghambaan kepada kebenaran mutlak. Tarian sufi ini adalah simbolisasi jalan cinta makrifat untuk mengenal Yang Mahabenar, seperti tampak pada penggalan puisi Rumi ini: Kali ini seluruh diriku telah diselubungi cinta Kali ini seluruh diriku bebas dari kepentingan dunia Setiap berhala dari empat anasir tubuh telah kululuhkan Sekali lagi aku menjadi Muslim, sabuk kekafiran kulepaskan Sesaat aku berputar mengedari sembilan angkasa raya Kukitari planet dan bintang-bintang mengikuti sumbunya Sesaat aku gaib --di suatu tempat rahasia aku berada bersama-Nya Aku dekat ke kampung halamannya, kusaksikan segala yang harus disaksikan

Inilah Cinta; terbang tinggi ke langit mikraj Mencampakkan,
setiap saat,ratusan hijab Mula-mula dengan menyangkal dunia Pada akhirnya jiwa berjalan tanpa kaki jasad

-Jalaluddin Rumi-

2 comments:

mohamad alatas said...

Artikelnya menarik walopun singkat tp padat. kami dari komunitas whirling darwis kota pekalongan. salam kenal

del_ said...

Salam Kenal juga. Koreksi nipun nggih, biar tambah manfaat.